Saya tra tahu hal-ihwal namanya. Tapi bila merujuk nama Jayapura tempo dulu, Belanda menamainya Hollandia, Hollandia Binnen; artinya tanah yang melengkung karena terdiri dari teluk dan tanjung yang berlekak-lekuk.
Dengan demikian berarti juga Holtekamp, bisa jadi, kampung yang melengkung karena berada di garis pantai yang berlekak-lekuk.
Tak butuh waktu lama bila diakses dari jantung Kota Jayapura. Pun dari Kabupaten Keerom dan perbatasan RI-PNG; Skouw-Wutung. Dari Jayapura sekitar 1,5 jam lamanya.
Ah, tapi itu dulu, sewaktu melalui Abepura-Tanah Hitam-Abepantai-Nafri-Koya. Kini tak lebih dari satu jam setelah ada ring road dan Jembatan Youtefa.
Ring road membelah laut Kampung Enggros-Tobati dengan kawasan perbukitan Skyline menuju Hamadi, Distrik Jayapura Selatan. Jembatan Youtefa membentang di atas lautan teduh, di atas pulau-pulau kecil Pantai Hamadi dengan Pantai Holtekamp.
Rabu, 1 Januari 2020 adalah waktu yang membuat Holtekamp menjadi riuh, tidak hanya oleh gelombang yang menghantam bibir pantai, tetapi juga oleh manusia-manusia yang memadati pantainya. Ramai nian di awal tahun.
SEJAUH MATA MEMANDANG, SEPANJANG HOLTEKAMP HINGGA PANTAI C’BEERY ATAU TANJUNG KASUARI KE UTARA, WARGA MEMADATI GARIS PANTAI. POHON-POHON KELAPA YANG BERDIRI KOKOH, DAN BERGOYANG MANJA DITIUP ANGIN SORE, ADALAH KEINDAHAN TERBERI LAINNYA. BERDIRI KOKOH JUGA BEBERAPA GAZEBO ATAU PONDOK-PONDOK YANG MENYERUPAI PONDOK-PONDOK DI RAJA AMPAT, PALAU ATAU MALADEWA. PRAKTIS DI BAWAH RIMBUNAN POHON-POHON KELAPA SETINGGI KIRA-KIRA DUA METER.
Di Holtekamp, memang tak hanya orang dewasa, tetapi juga anak-anak, memadati pantai. Mereka mandia ria. Membenam di atas pasir putih dan cokelat. Ada juga yang menikmati deburan ombak yang menghantam pantai nan keruh.
Mata saya bahkan menjeda lama tatkala menangkap pemandangan kontras. Bukan anak-anak yang bersenda gurau, anak yang dituntun ibunya dan sedang merangkak menghadap lautan. Bukan pula keriuhan pengunjung bersama deburan ombak dan burung camar yang bermanuver di atas gelombang.
Pantai yang indah ini sedianya ditata dengan baik. Ia tak hanya menyita perhatian masyarakat Kota Jayapura dan sekitarnya. Di internet, kita dengan mudah mendapat informasi, tak hanya informasi baik, tetapi juga masukan-masukan konstruktif pengunjung.
Eddy Hartanto,12 Mei 2018, menulis komentarnya tentang Holtekamp dalam
Pantainesia bahwa pantai ini masih dikelola warga lokal seperti pantai lainnya di Jayapura. Daya tariknya cuma pasir dan pantai. Sampah bertebaran.
Kau akan mengalami risiko menginjak pecahan botol minuman beralkohol, minimnya ruang ganti atau kamar mandi, sedangkan retribusi sebesar Rp 20 ribu untuk motor. Tapi tanpa perawatan.
Komentar pada situs yang sama, Ade Ohei, 17 Agustus 2019, memberi 4 bintang dengan mengulas bahwa tempat wisata dengan pesisir pantai yang luas oleh pasir pantai yang halus, sehingga aman bagi anak-anak, dengan tarif terbilang murah, tersedia juga kamar mandi umum.
Kawasan ini juga dekat dengan kolam pemancingan Koya, dekat pantai Tanjung C’beery, menjadikan pantai ini tujuan wisata yang perlu direkomendasikan.”
Kesan-kesan seperti di atas sedianya menjadi perhatian, tidak hanya oleh pemerintah kota, tapi juga pemerintah distrik, kampung, dan masyarakat pemilik ulayat kawasan pantai.
Kondisi pantai yang dipenuhi sampah, air yang keruh tentu menjadi kontras bila tarif, meski hanya parkiran, dibebankan kepada pengunjung yang berjubel. Pada 22 Desember 2019, saya dan beberapa kawan mengunjungi lokasi ini. Tak dikenakan tarif.
Barangkali petugasnya lupa, tapi memang kami tak menemui petugas yang menagih dari suatu tempat ke tempat lainnya. Tahun-tahun sebelumnya kira-kira melalui Koya adalah Rp 10 ribu per motor.
Tapi setelah Jembatan Youtefa dan Ring Road dibangun, lalu lintas menjadi ramai. Warga lebih memilih melalui dua jalur ini bila ke Holtekamp daripada jalur lama. Lebih praktis.
Tarif juga segera berubah. Bisa jadi. Atau bisa jadi karena kebetulan holiday. Eh, tapi di pantai-pantai di Kota Jayapura, everyday is holiday, man. Holiday tak hanya tanggal merah di kalender.
Tahun baru kemarin tentu lebih riuh. Tetapi juga teraneh. Setidaknya menurut pengalaman saya selama sekitar satu dekade tinggal di tanah ini.
Saya juga kaget ketika motor dibandrol dengan tarif parkiran Rp 20 ribu dan Rp 40 ribu untuk mobil. Ini wajar jika nanti tarif parkiran untuk pendapatan asli daerah, kemajuan kampung, pemberdayaan masyarakat dan kebersihan lokasi wisata itu sendiri.
Paradoks jika pantai tra dikelola dengan baik. Kemarin adalah hal teraneh karena tidak hanya tarif tapi juga tidak sesuai dengan kondisi pantainya yang keruh, banyak sampah, dan parkiran yang membikin macet.
“Masih lebih baik di Hamadi, pantainya bersih dan airnya jernih, tarif parkir cuma Rp 10 ribu,” kata seorang pengunjung, Ovansius.(Red, Le Lomes)