![]() |
Aloysius Hama – Facebook/Louis |
Menggembalakan kerbau, mencari kayu bakar dan menjaga padi di sawah atau riang peti, adalah aktivitas sehari-hari sepulang dari sekolah. Berangkat ke sekolah pun jalan kaki lebih dari 2 kilo, jauh di atas perbukitan bernama Watu Weri.
Sebagai anak petani, dari orang tua yang tidak pernah mendapatkan pendidikan, aktivitas harian ini dijalaninya dengan tekun, layaknya anak petani di kampung umumnya.
Namun siapa sangka nasib Aloysius Hama kelak berubah drastis saat merantau ke kota industri dan metropolitan seperti Surabaya, Jawa Timur?
“Dengan motivasi, semangat dan ketekunan, saya bersyukur bisa sekolah. Itu di luar dugaan saya, bahwa bapak bisa sekolahkan saya sampai SMA,” kata Aloysius, dalam wawancara per telepon seluler, pada Sabtu siang, 29 Agustus 2020.
Alo atau Lois, demikian sapaannya, menamatkan pendidikan dasar di SDI Watu Weri, Desa Ketang (kini desa Lentang), Kecamatan Lelak, Manggarai, Flores, NTT. Selepas SD, dia melanjutkan pendidikan SMP di Cancar, Kecamatan Ruteng, hingga lulus dari SMA Santu Thomas Aquinas Ruteng tahun 1999.
Cita-citanya tak sampai di situ. Anak ketujuh dari delapan bersaudara, dari pasangan Alm. Martinus Hodom dan Mama Wihelmina ini berkomitmen melanjutkan pendidikan, demi mengubah nasib dan membanggakan keluarga dan kampung halaman.
Ia lalu memutuskan untuk merantau ke Surabaya. Tepat setahun setelah Indonesia dilanda krisis moneter 1998.
Nasibnya tak segera berubah di kota besar. Dia harus bergulat dengan kerasnya kehidupan Kota Pahlawan. Anak petani miskin harus bersaing dengan orang-orang dari berbagai latar belakang pendidikan, ekonomi, dan status sosial.
Kuliah sambil kerja
Bukan tanpa alasan Lois memilih Surabaya sebagai tempat perantauan. Dia bercerita bahwa kota yang kini dipimpin Tri Risma ini adalah barometer bisnis, kota industri, kota pahlawan, dan tempat berdirinya sejumlah kampus negeri ternama dan swasta.
Setahun pertama tak langsung kuliah, tetapi bekerja sebagai kuli bangunan dan pekerja borongan di kawasan Margomulyo, Kecamatan Tandes, Surabaya selatan.
Setelah itu dia banting setir menjadi karyawan biasa di salah satu percetakan sebagai staf pembelian, yang diperbantukan untuk membeli perlengkapan toko percetakan.
“Dari situ saya tetap ingin kuliah,” ujarnya mengenang.
Lalu tahun kedua, 2001, Lois memutuskan untuk bekerja sambil kuliah dan kuliah sambil kerja. Pagi sampai sore mencari sesuap nasi. Dilanjutkan kuliah hingga pulang pada malam harinya.
Sebagai karyawan biasa kelas rendah dan mahasiswa, dia menggunakan gajinya sebaik mungkin. Beli makanan, bayar rumah kos, dan kebutuhan harian lainnya dengan membayar uang kuliah dan segala keperluan kampus.
Lelah itu terbayar sudah tatkala gelar sarjana didapat dari Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Urip Sumoharjo. Pekerjaan baru menanti. Sarjana muda ini menjadi marketing di Bank Ekonomi Embong Malang, dan pegawai asuransi.
Namun gajinya hanya bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Gali lubang tutup lubang, bahkan besar pasak daripada tiang.
“Lalu saya cari jalan keluar karena tidak mungkin seperti begini terus nanti,” katanya.
Berdiri di atas kaki sendiri
Gayung bersambut. Suatu hari di tahun 2005, dia mendapat tawaran untuk menjadi tukang parkir di Gereja Katedral Surabaya. Tiap Minggu harus menjaga parkiran.
Rupanya ini menjadi batu loncatan. Di tahun yang sama, Lois berkenalan dengan seorang pengusaha kain majun, kain yang dipotong kecil-kecil untuk lap.
Kebetulan sang bos membutuhkan tenaga marketing, sehingga ia tak menyia-nyiakan tawaran, untuk bekerja sebagai maketing produksi kain majun, masker dan sarung tangan, sisa-sisa konveksi perusahaan.
Menjadi sales marketing bukan perkara mudah. Tak hanya mengandalkan kemampuan komunikasi dan persuasi, tetapi juga mempertaruhkan gengsi dan kesabaran.
Dia berjalan kaki ke tiap bengkel, toko, hingga perusahaan-perusahaan. Tak peduli panasnya kota Surabaya. Keringat dan peluh bercucuran, perih membasahi mata, bahkan menahan lapar dan debu jalanan.
“Kalau ada pesanan baru kita sewa mobil untuk kirim ke pelanggan,” katanya.
Praktis setiap hari selama tiga bulan ia bekerja dengan berjalan kaki. Dia ingat betul, membeli motor dengan hasil keringat sendiri merupakan kebanggaan tersendiri baginya kala itu.
Semakin hari omzet perusahaan bertambah berkat kerja keras para karyawan. Dia lalu memutuskan untuk “jalan sendiri” dan resign dari perusahaan yang menafkahinya.
“Saya berjuang tapi ada hasil. Karena kasihan lata pe, oleee ata ho’o e sales tiap leso lako wai (karena orang merasa kasihan kah, aduh ini orang tiap hari jualan jalan kaki), lalu saya sewa orang punya mobil pick up untuk antar barang-barang itu,” katanya.
Dengan pemilik rental disepakati, bahwa Lois baru bisa membayar rental setelah barang-barang terjual. Puji Tuhan, jualannya laku sehingga bisa membayar rental pick up.
Berkat usaha ini dia mendapatkan keuntungan sekitar Rp 1 juta per minggu. Tiap bulan Rp 3 juta sampai Rp 4 juta.
Semangat menyala di Kota Pahlawan
Baginya motor dapat memperlancar bisnisnya. Bukan sekadar gaya-gayaan. Motor ini menjadi semacam pemantik, untuk terus berjuang menjadi pebisnis yang mandiri dan sukses.
Dalam hitungan dua sampai tiga bulan, Lois akhirnya bisa mengontrak rumah di kawasan Dinoyo dan Bratang.
“Mulai dari sini lumayan. Semakin semangat kerja, bisa menabung dan beli rumah Rp 400 juta,” katanya.
Butuh dua tahun dia menabung untuk membeli rumah, dan setahun membeli pick up demi kelancaran bisnisnya menjual kain majun.
Hari berganti hari, rezeki terus bertambah. Owner PT Setia Makmur Surabaya ini akhirnya bisa memproduksi kain majun, masker, sarung tangan, dan tali rafia.
Dia kemudian mempekerjakan 20 karyawan tetap dan 30 tenaga borongan, untuk mengantarkan jualan kepada pelanggan, sedangkan dirinya harus melanjutkan pendidikan S2 Akuntasi di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Yapan.
Tak dinyana dia mendapat IPK 4,0 atau lulus dengan pujian. Almamaternya lantas mempercayakan anak dari pedalaman Flores barat ini, untuk menjadi dosen dan Ketua Program Studi Akuntansi pada 2015 sampai sekarang.
Seperti pepatah, meraih ilmu setinggi bintang, beliau tak puas menyandang ijazah S1 dan S2. Seolah-olah membenarkan adagium filsuf Seneca, non scholae sed vitae discimus (kita belajar bukan hanya untuk mendapatkan ilmu/ijazah, tetapi untuk hidup), timbul niatnya melanjutkan pendidikan. Kini dia sedang menempuh pendidikan doktoral, manajemen keuangan di salah satu kampus di Surabaya.
“Belajar untuk hidup, karena pendidikan itu penting,” ujarnya.
Jika pendidikan, usaha atau bisnis sudah digapainya dengan susah payah, Aloysius diam-diam melirik dunia politik. Beberapa waktu lalu dia menjadi caleg di Kabupaten Manggarai, tetapi kandas.
Meski demikian, dia tak merasa kecewa, karena baginya menjadi wakil rakyat adalah panggilan jiwa, untuk menyuarakan aspirasi masyarakat di legislatif. Semata-untuk membantu orang-orang kecil, bukan hanya “cari kursi” dan tidur-tiduran di ruang sidang ber-AC.
Beliau berpesan agar anak-anak muda dari kampung halamannya, dan Manggarai pada umumnya, mengutamakan pendidikan dan mandiri.
Bagi dia, nasib baik atau buruk seseorang tergantung pribadinya. Bukan karena faktor keturunan, keluarga kaya atau berpendidikan tinggi, tetapi berkat ketekunan, semangat dan usaha yang gigih, serta kerendahan hati untuk berdoa dan berpasrah pada Penyelenggaraan Ilahi.(Red, De Lomes)