Oleh, Titus Ruban
TAK DAPAT DISANGKAL bahwa banyak bahasa-bahasa daerah sudah mulai terancam punah. Termasuk bahasa daerah anda yang menunjukan dari mana anda berasal.
Padahal, Bahasa itu sebenarnya adalah jati diri anda dan bangsa anda.
Jika bahasa adalah sebuah jati diri, maka menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dimaknai sebagai ciri-ciri, gambaran, identitas, inti, jiwa, spirit, atau daya gerak sebuah bangsa. Maka punahnya bahasa berarti punahnya jati diri bangsa tersebut.
Apakah dengan punahnya jati diri sejumlah suku, akan lenyap seiring punahnya bahasa daerah?
UNESCO, sudah memberi peringatan keras, atas ancaman kepunahan bahasa daerah. UNESCO juga pernah mencatat lebih dari seratus bahasa daerah di Indonesia nyaris punah.
Fenomena kepunahan bahasa daerah, perlu disikapi serius oleh berbagai pihak. Terutama para pemangku kepentingan di Negara ini, mulai dari hulu hingga ke hilir yakti Pemerintah Pusat sampai ke Kabupaten/Kota.
Indonesia, dikenal sebagai salah satu Negara yang memiliki jumlah bahasa daerah terbesar dengan nomor urut dua di Dunia setelah Papua Nugini). Bahwa ada yang mengatakan bahwa jumlah bahasa daerah di Indonesia mencapai enam ratusan bahasa daerah. Ada juga yang mengatakan bahwa jumlah bahasa daerah di Indonesia mencapai lebih dari tujuh ratusan.
Dalam data yang diperoleh Ganjar Harimansyah, Kepala Bidang Perlindungan Pusat Pengembangan dan Perlindungan Badan Bahasa, Jakarta. Jumlah ini akan terus bertambah karena masih banyak bahasa daerah yang belum teridentifikasi.
Kata “bahasa” berasal dari kata Sansekerta “bahasa” yang berarti “wicara atau ucapan”. Dalam disiplin Antropologi, khususnya Antropologi Sosial/Budaya, bahasa memiliki posisi yang unik karena bukan hanya sebagai “produk kebudayaan manusia” melainkan juga sebagai “medium transmisi kebudayaan tersebut”.
Sebagai produk kebudayaan manusia, semua bahasa bersifat profan dan sekuler. Tidak ada bahasa yang secara inheren (Hubungan Erat) itu suci atau sakral. Manusialah yang kemudian menyucikan atau mensakralkan bahasa tersebut untuk kepentingan tertentu.
Padahal, tujuan utama dan mendasar manusia menciptakan bahasa adalah untuk berkomunikasi dengan sesama. Sebab melalui bahasa pula, manusia dapat mengekspresikan uneg-unegnya.
Bahasa daerah bersifat lokal dan terbatas yang digunakan oleh kelompok atau suku tertentu, sebagai alat berkomunikasi antara mereka.
Namun, bahasa kemudian berubah karena beberapa faktor. Misalkan politik-keagamaan, kolonialisme, nasionalisme, perdagangan, dan lainnya. Sehingga separuh bahasa kemudian berkembang menjadi translokal. Lalu meregional, atau menasional hingga mengglobal sampai pada menginternasional.
Misalkan bahasa Inggris, bahasa China dan sebagainya, yang berkontribusi terhadap matinya bahasa-bahasa daerah.
Penyebab punahnya bahasa daerah
Ada beberapa faktor yang mendasari punahnya atau nyaris punah dan terancam punah. Adalah factor “Nasionalisme bahasa Indonesia”. Melalui Nasionalisme, rezim orde baru (Orba) di bawah kekuasaan Presiden Suharto, menggencarkan bahasa Indonesia di seluruh Tanah Air.
Soeharto sangat berjasa karena ke berbagai pelosok tanah air. Yakni melalui keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 57 tahun 1972, Tentang peresmian berlakunya “ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan”. Maka Soehartolah yang berjasa di dalam “menasionalkan” Bahasa Indonesia.
Melalui kurikulum pendidikan, baik sejak Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi.
Akan tetapi, ada juga faktor lain yang yang mempengaruhi punahnya Bahasa Daerah yakni globalisasi. Yaitu melalui bidang teknologi dan informatika. Penyebarannya melalui media massa hingga media sosial. Maka warga di desa sekalipun yang jauh ratusan kilometer dari perkotaan, dengan leluasa dapat memilah-milah ragam bahasa.
Maka dampaknya adalah kalangan generasi muda dalam pergaulannya dapat leluasa mempopulerkan bahasa gaul dan sebagainya.
Ada pula faktor lain yang mempengaruhi hilangnya bahasa daerah. Yaitu perkawinan silang. Misalnya pasangan yang berbeda suku adal menggunakan Bahasa Indonesia dalam kesehariannya.
Mantan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa (Sekjen PBB), Kofi Annan, telah menetapkan Hari Bahasa Ibu internasional mulai diperingati sejak tanggal 21 Februari 1999 silam.
Ditetapkannya Tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional, untuk mempertahankan eksistensi bahasa lokal. Peringatan ini juga sekaligus menjadi pengingat bagi setiap orang tentang budaya dan asal usulnya.
Bahasa daerah biasanya disebut bahasa ibu
Penguasaan bahasa seorang anak dimulai dengan perolehan bahasa pertama yang disebut bahasa ibu (B1). Pemerolehan bahasa merupakan sebuah proses yang sangat panjang—sejak anak belum mengenal sebuah bahasa sampai fasih berbahasa. Setelah bahasa ibu diperoleh, maka pada usia tertentu seorang anak bisa mulai mempelajari bahasa lain atau bahasa kedua (B2).
Bahasa kedua itu pun akan melengkapi khazanah pengetahuan yang dimilikinya. Contohnya, mereka yang berbahasa ibu bahasa daerah akan mulai mengenal bahasa Indonesia saat memasuki jenjang pendidikan formal di tingkat dasar.
Bahasa Daerah Papua harus dilindungi
Direktur Nusantara Institute, Sumanto Al Qurtuby mengatakan bahwa masyarakat sebagai objek utama dalam bahasa daerah, harus berkontribusi dalam melestarikan bahasa daerahnya dengan menginisiasi berbagai program penunjang. Seperti membuat buku-buku bahasa daerah, penyediaan taman bacaan bahasa daerah, atau melalui berbagai aktivitas seni-budaya, dan terpenting adalah selalu bercakap bahasa daerah di dalam kehidupan sehari-hari.
“Tanpa upaya serius dari pemerintah dan masyarakat untuk melestarikan bahasa-bahasa daerah, maka bukan hal yang mustahil jika kelak akan semakin banyak bahasa daerah di Indonesia yang musnah ditelan zaman” tulis Sumanto.
Pemprov Papua perlu melindungi bahasa daerah
Bahasa daerah atau bahasa Ibu perlu mendapatkan perlindungan di Tanah Papua. Strategi perlindungan bahasa Ibu ini harus dilakukan dari hulu ke hilir.
Yaitu dimulai dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua, melalui Dinas Pendidikan.
Sehingga muatan lokal pelajaran bahasa daerah di sekolah harus mendapat perhatian lebih. Terutama dari Kepala Dinas Pendidikan, yang menginstruksikan kepada jajarannya (sekolah-sekolah), agar diajarkan dengan metodologi pengajaran yang menarik.
Selain itu, para calon guru bahasa daerah harus mendapat dibekali di dengan metodologi pengajaran yang memadai. Termasuk Kepala Daerah perlu mendorong pembuatan kamus bahasa daerah dengan buku atau aplikasi.
Termasuk di rumah ibadah atau di masyarakat. mestinya ada ibadah ibadah dilaksanakan dalam bahasa daerah, di kantor, sekolah tempat umum ada hari yang orang bebas menggunakan bahasa daerah masing masing.
Perlu regulasi dari DPRP
UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan juga menjamin pelestarian bahasa daerah. Hal yang sama juga telah diatur dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 jo UU No 2 Tahun 2021.
Untuk itu, guna melestarikan bahasa daerah di Papua yang terancam punah, maka BAPEMPERDA DPR Papua sudah membahas Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Perlindungan Bahasa dan Sastra Daerah di Papua.
Draft ini bahkan telah diusulkan Balai Bahasa Kemendikbud melalui Anggota DPRP John NR Gobai dengan menggunakan hak inisiatif Anggota DPRP.
“Draft ini telah diusulkan dibahas bersama praktisi pengkaji bahasa, akademisi dan perwakilan masyarakat adat serta penutur bahasa daerah yang berlangsung di Balai Bahasa di Waena, pada 05 Mei 2021 silam” tutur anggota DPRP John NR Gobai.
Semoga! peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional, dapat kembali membuat kita bertekad mempertahankan bahasa daerah di Papua dan DPRP dapat segera membahas dan mengesahkan draft Raperdasi Papua tentang Perlindungan dan Pengembangan Bahasa Daerah di Provinci Papua.(*)