Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
Hukum dan Kriminal

PTUN Jayapura tolak gugatan masyarakat adat suku Awyu, Koalisi; ini kemunduran perlindungan masyarakat adat

166
×

PTUN Jayapura tolak gugatan masyarakat adat suku Awyu, Koalisi; ini kemunduran perlindungan masyarakat adat

Sebarkan artikel ini
Ketua marga Woro dari dari Suku Awyu, Hendrikus Franky Woro, –   Bumiofinavandu/Greenpeace Indonesia
Example 468x60

Nabire, Bumiofinavandu –   Pengadilan Tata Usaha Negara atau PTUN Jayapura, memutuskan untuk menolak gugatan dari masyarakat adat Suku Awyu, terhadap izin kelayakan lingkungan PT Indo Asiana Lestari (PT IAL) yang diterbitkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terbuka Satu Pintu atau DPMPTSP Papua. “Menolak gugatan penggugat, penggugat intervensi 1 dan penggugat intervensi 2,” demikian bunyi putusan PTUN Jayapura tersebut.

Siding dipimpin oleh majelis hakim, Merna Cinthia yang didampingi dua hakim lainnya yakni Yusup Klemen dan Donny Poja. Hakim beralasan bahwa gugatan masyarakat adat Suku Awyu tidak beralasan hukum maka ditolak ditolak. Putusan itu dibacakan dalam sidang di di pengadilan Kota Jayapura pada Kamis (02/11/2023) kemarin.

Perkara yang disidangkan adalah menyangkut izin kelayakan lingkungan yang diterbutkan oleh DPMPTSP Papua untuk perkebunan kepala sawit PT IAL. Gugatan masyarakat adat Suku Awyu itu mencakup rencana pembangunan perkebunan kelapa sawit seluas 36.096,4 hektare di Distrik Mandobo dan Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua Selatan.

Menurut penggugat, izin diterbitkan tanpa sepengetahuan mereka (masyarakat adat). Gugatan TUN tersebut terdaftar di PTUN Jayapura dengan nomor perkara 6/G/LH/2023/PTUN.JPR. Objek sengketa penggugat mengajukan penerbitan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bertentangan dengan asas kearifan lokal lokal, asas kelestarian dan keberlanjutan.

Akan tetapi, majelis hakim berpendapat dalil penggugat tidak relevan, mengingat telah terdapat penilaian atau pengujian AMDAL oleh Tim Uji Kelayakan Lingkungan Hidup atau in casu Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua selaku Ketua Komisi Penilai Amdal (KPA).

Dalam putusannya, PTUN Jayapura menyatakan pengadilan tidak akan menguji lebih lanjut mengenai substansi dan prosedur dari rekomendasi kelayakan lingkungan hidup ataupun penilaian mengenai AMDAL, karena dokumen AMDAL bukan merupakan objek sengketa yang diuji dalam perkara dimaksud.

 “Pengadilan berkeyakinan untuk menolak permohonan penundaan pelaksanaan keputusan Objek Sengketa dari Penggugat, Penggugat Intervensi 1 dan Penggugat Intervensi 2,” demikian bunyi putusan PTUN Jayapura.

Kata majelis hakim, secara prosedur dan substansi penerbitan AMDAL tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Serta tidak bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Majelis hakim juga menyatakan izin kelayakan lingkungan PT Indo Asiana Lestari sah dari segi prosedur dan substansi.

Sehingga secara kewenangan, majelis hakim menyatakan prosedur dan substansi penerbitan izin itu sah menurut Pasal 52 ayat (1) dan (2), undang-undang nomor 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan. Majelis juga membebankan penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp451.000.

Putusan yang mengecewakan

Ketua marga Woro, Suku Awyu, Hendrikus Franky Woro, menyatakan, putusan PTUN Jayapura mengecewakan masyarakat Awyu, padahal mereka berjuang demi mempertahankan hutan adatnya dari perusahaan sawit.

Tim Advokasi Selamatkan Hutan Papua dan masyarakat suku Awyu menilai, putusan ini merupakan kabar buruk bagi perlindungan hak-hak masyarakat adat, hutan Papua, dan upaya melawan krisis iklim.

Serta kabar buruk bagi masyarakat adat suku Awyu yang sedang berjuang mempertahankan hutan adat mereka dari perusahaan sawit.

“Saya sedih dan kecewa sekali karena yang saya perjuangkan seperti sia-sia. Namun saya tidak akan pernah mundur, saya akan terus maju. Saya siap mati demi tanah saya, karena itu yang tete nene leluhur wariskan untuk saya. Jika hakim tidak percaya, terjun ke lapangan untuk lihat langsung. Saya juga sedih karena teman-teman lain sudah luar biasa mendukung kami. Mereka tidak punya tanah di sini tapi  mereka luangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk kami masyarakat adat. Namun hakim tidak melihat persoalan itu dan tidak memutuskan dengan seadil-adilnya,” kata Hendrikus Woro, pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu yang mengajukan gugatan ke PTUN Jayapura.

Perjuangan dan proses persidangan memakan waktu tujuh bulan. Hendrikus Woro dan kuasa hukumnya telah menghadirkan 102 bukti surat, enam orang saksi fakta, dan tiga orang saksi ahli.

Padahal alat-alat bukti dan saksi dari pihak suku Awyu jelas menunjukkan kejanggalan dalam penerbitan izin PT IAL. Misalnya, penyusunan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang tidak melibatkan partisipasi bermakna dari masyarakat adat, adanya intimidasi terhadap masyarakat yang menolak perusahaan sawit, hingga tidak diakuinya keberadaan marga Woro dalam peta versi perusahaan.

Namun dalam putusannya, hakim seenaknya menyatakan tidak dapat mempertimbangkan prosedur penerbitan amdal karena bukan bagian dari objek sengketa dalam perkara itu, yakni SK Kepala Dinas Penanaman Modal dan PTSP Papua tentang izin kelayakan lingkungan hidup untuk PT IAL.

Padahal, amdal jelas merupakan lampiran dan dasar penerbitan obyek sengketa.

“Kami menilai hakim keliru mempertimbangkan telah terjadi partisipasi bermakna hanya menggunakan sebuah surat dukungan investasi dari Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Kabupaten Boven Digoel. LMA adalah lembaga yang tidak jelas status hukum dan kedudukannya dalam tatanan adat, mereka tidak merepresentasikan masyarakat adat Awyu dan marga Woro, dan juga tidak punya hak untuk menyetujui pelepasan hutan milik masyarakat adat. Ini mengabaikan prinsip persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (free, prior, and informed consent) langsung dari masyarakat terdampak,” kata Tigor Hutapea, anggota tim kuasa hukum suku Awyu.

Putusan tersebut juga mengabaikan potensi dampak iklim jika PT IAL membuka kebun sawit dan melakukan deforestasi di hutan adat suku Awyu. Jika deforestasi itu terjadi, potensi emisi karbon yang lepas setidaknya sebesar 23 juta ton CO2. Ini akan menyumbang lima persen dari proyeksi tingkat emisi karbon Indonesia tahun 2030. Majelis hakim gagal memahami kasus ini sebagai gugatan lingkungan dan perubahan iklim, serta gagal memahami penerapan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup.

“Kami kecewa dengan putusan hakim dan akan memperjuangkan kasus ini sampai menang demi tegaknya hak masyarakat adat, selamatnya hutan Papua dari kerusakan yang masif, dan menahan laju krisis iklim. Ini putusan yang janggal, hakim bukan saja tidak berpihak kepada masyarakat adat dan lingkungan, tapi juga seperti mengabaikan banyaknya fakta-fakta persidangan,” kata Sekar Banjaran Aji, anggota tim kuasa hukum suku Awyu.

Emanuel Gobay, anggota tim kuasa hukum suku Awyu dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, menambahkan, pihaknya akan naik banding mengingat perkara tersebut menyangkut hak-hak masyarakat adat Papua yang telah dilanggar

“Kami akan banding karena ini menyangkut hak-hak masyarakat adat Papua yang telah diabaikan dan dilanggar. Kami juga akan melakukan upaya-upaya hukum untuk mengevaluasi sikap hakim dalam memutus perkara ini. Meski satu dari tiga majelis hakim memiliki sertifikasi hakim lingkungan, ternyata pertimbangan putusan tidak sesuai prinsip hukum lingkungan. Ini misalnya terlihat

dalam sikap hakim yang tidak mempertimbangkan substansi amdal yang bermasalah dan menolak permintaan kami untuk pemeriksaan lapangan.” kesal Emanuel Gobai.

Selama persidangan bergulir, banyak dukungan mengalir untuk suku Awyu. Berbagai pihak mengirimkan amicus curiae (sahabat peradilan), mulai dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM),  Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), ahli litigasi iklim I Gede Agung Made Wardana, Pusat Kajian Hukum Adat Djojodigoeno, Koalisi Kampung untuk Demokrasi Papua, dan Greenpeace Indonesia. 

Gerakan Solidaritas Perlindungan Hutan Adat Papua yang didukung 258 organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan individu dari berbagai daerah dan negara, termasuk solidaritas dari masyarakat adat Ka’apor, Amazon, Brazil, juga telah membuat surat terbuka dan menyerahkannya kepada majelis hakim PTUN Jayapura, Ketua Komisi Yudisial, Ketua Mahkamah Agung, dan Komnas HAM.

Mereka menuntut dan memohon kepada majelis hakim agar berpegang teguh pada prinsip in dubio pro natura, yang bermakna ‘jika  hakim mengalami keragu-raguan mengenai bukti, maka hakim mengedepankan perlindungan lingkungan  dalam putusannya’–demi kelanjutan hutan Papua yang menjadi sumber kehidupan masyarakat adat Papua.

Tigor Hutapea, anggota tim kuasa hukum suku Awyu lainya menilai, hakim keliru mempertimbangkan telah terjadi partisipasi bermakna dan hanya menggunakan sebuah surat dukungan investasi dari Lembaga Masyarakat ADAT (LMA), yang tidak jelas status hukumnya.

“Kami menilai hakim keliru mempertimbangkan telah terjadi partisipasi bermakna  hanya menggunakan sebuah surat dukungan investasi dari Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Kabupaten Boven Digoel. LMA adalah lembaga yang tidak jelas status hukum dan kedudukannya dalam tatanan adat, mereka tidak merepresentasikan masyarakat adat Awyu dan marga Woro, dan juga tidak punya hak untuk menyetujui pelepasan hutan milik masyarakat adat. Ini mengabaikan prinsip persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (free, prior, and informed consent) langsung dari masyarakat terdampak,” kata Tigor Hutapea.

Putusan tersebut juga tak mengindahkan potensi dampak iklim jika PT IAL membuka kebun sawit dan melakukan deforestasi di hutan adat suku Awyu. Jika deforestasi itu terjadi, potensi emisi karbon yang lepas setidaknya sebesar 23 juta ton CO2. Ini akan menyumbang lima persen dari proyeksi tingkat emisi karbon Indonesia tahun 2030. Majelis hakim gagal memahami kasus ini sebagai gugatan lingkungan dan perubahan iklim, serta gagal memahami penerapan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup.

“Kami kecewa dengan putusan hakim dan akan memperjuangkan kasus ini sampai menang demi tegaknya hak masyarakat adat, selamatnya hutan Papua dari kerusakan yang masif, dan menahan laju krisis iklim. Ini putusan yang janggal, hakim bukan saja tidak berpihak kepada masyarakat adat dan lingkungan, tapi juga seperti mengabaikan banyaknya fakta-fakta persidangan,” kata Sekar Banjaran Aji, anggota tim kuasa hukum suku Awyu. 

Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua, terdiri dari; Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Pusaka Bentala Rakyat Papua, Greenpeace Indonesia, Satya Bumi, LBH Papua, Walhi Papua, Eknas Walhi, PILNet Indonesia, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Perkumpulan HuMa Indonesia.[*]

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Seputar Papua. Mari bergabung di Grup Telegram “Bumiofinavandu.com”, caranya klik link https://t.me/wartabumiofinabirepapuatengah lalu join. Jangan lupa install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!