*Oleh Samuel Pakage
Perspektif yuridis dan bentuk eksaminasi terhadap putusan MK.
Nabire, Kalawai Bumiofi | Mahkamah Konstitusi (MK) dibentuk pada tahun 2003 berdasarkan Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. MK merupakan pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam pasal 24 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
Ketentuan Pasal 24 ayat (2) berbunyi: *Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi*
Sedangkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) berbunyi:
*Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum*
Ketentuan Pasal 24 ayat (2) dan pasal 24C UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana diuraikan diatas adalah landasan konstitusional pembentukan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Di dalam Pasal 10 ayat (1)UU MK No. 24 Tahun 2003 mengatur tentang kewenangan MK yaitu:
(a) menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(b) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(c) memutus pembubaran partai politik; dan*
(d) *memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Bahwa baik ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 maupun ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU MK tersebut diatas memberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk: *MEMUTUS PERSELISIHAN TENTANG HASIL PEMILIHAN UMUM*
Kewenangan MK untuk, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, di pertegas juga di dalam UU No 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang, pasal 157 ayat (3) menyatakan bahwa :
“Perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus”.
Secara teknis dalam penanganan perkara perselisihan Pemilihan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, calon Bupati dan calon Wakil Bupati, serta calon Walikota dan Calon Wakil Walikota, MK mengeluarkan Peraturan MK No. 3 Tahun 2024 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Perselisihan Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.
Pasal 2 Peraturan MK ini secara jelas mengatur bahwa objek dalam perkara PHPU adalah Keputusan KPU (Termohon) mengenai penetapan perolehan suara hasil pemilihan yang dapat mempengaruhi penetapan calon terpilih.
Bahwa UUD NRI Tahun 1945, UU MK No 24 Tahun 2003, dan UU No 10 Tahun 2016 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota tersebut diatas, telah memberikan kewenangan secara jelas kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus , “perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil pemilihan*
Artinya diluar dari perkara perselisihan penetapan suara tahap akhir, bukanlah menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi, tetapi merupakan kewenangan lembaga lain. Misalnya, mengenai masalah administrasi dan pidana bukanlah menjadi kewenangan MK untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan. Dengan demikian, apabila MK menangani masalah Administratif (persyaratan calon pasangan Gubernur, Bupati/Walikota) maupun masalah pidana, maka dapat dikatakan MK telah mengambil alih kewenangan lembaga lain dan melanggar Undang-Undang sebagaimana disebutkan di atas.
Sesuai ketentuan, sangatlah jelas dan terang bahwa masalah administratif pemilihan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota merupakan kewenangan Bawaslu, PTUN, PTUN dan MA untuk memeriksa, mengadili dan memutusnya. Sedangkan masalah Pidana yang terjadi dalam pemilihan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota adalah kewenangan Bawaslu Gakkumdu, Pengadilan Negeri.
Artinya MK tidaklah memiliki kewenangan untuk mengambil alih kewenangan lembaga lain dalam PHPU tersebut.
Contoh, Hakim MK mempersoalkan proses persyaratan calon Wagub Prov Papua Yermias Bisai. Padahal adalah murni masalah administratif dan pidana, sehingga sejatinya MK tidaklah berwenang memeriksa, mengadili dan memutusnya.
Bertolak dari uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa proses MK dalam memeriksa, mengadili dan memutus masalah persyaratan (administratif) wagub Prov Papua Yermias Bisai adalah tidak tepat dan melampaui kewenangan yang dimilikinya dan MK telah melanggar Peraturan MK No. 3 Tahun 2024.
Sebab sudah sangat jelas dan terang bahwa penanganan masalah administratif adalah kewenangan Bawaslu sebagaimana diatur dalam UU No 10 Tahun 2016 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, dalam pasal 135A ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (8), ayat (9), dan ayat (10). Dalam pasal 133A ini masalah administratif menjadi kewenangan Bawaslu, bukan kewenangan MK. Bawaslu Provinsi berwenang menerima, memeriksa, dan memutus pelanggaran administrasi pemilihan, sehingga yang berwenang terhadap masalah administratif wagub Yermias Bisai adalah Bawaslu.
Pasal 135A telah memberikan kewenangan kepada Bawaslu untuk dapat membatalkan pasangan calon Gubernur, Bupati, dan Walikota yang bermasalah serius dengan administrasi/persyaratan. Dan di pasal 144 ayat (1), berbunyi: “Putusan Bawaslu Provinsi dan Putusan Panwas Kabupaten/Kota mengenai penyelesaian sengketa pemilihan merupakan putusan bersifat mengikat”, lebih lanjut diatur dalam UU Bawaslu.
Proses penyelesaian sengketa Pidana pun sudah diatur dalam pasal 146 UU No 10 Tahun 2016, ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), serta pasal 152 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5).
Berdasarkan ketentuan dalam UU No 10 tahun 2016 tersebut diatas, maka lembaga yang berwenang menangani dan menyelesaikan masalah administrasi maupun pidana wagub Yermias Bisai adalah Bawaslu Provinsi Papua.
Bukan Mahkamah Konstitusi. Perintah UU sudah jelas Bawaslu berwenang membatalkan atau tidak terhadap Calon Wagub Yermias Bisai. Didiskualifikasi YB oleh MK adalah bertentangan dengan undang undang. Dalam hukum disebut dengan “ultra petita”. yaitu putusan Hakim keluar jauh dari substansi PHPU, sehingga menimbulkan kontroversi. Boleh dikatakan putusan MK tersebut tidaklah tepat karena mengambil kewenangan Bawaslu.
Pendapat tersebut diperkuat dengan pasal 75 UU MK, berbunyi: *”Dalam permohonan yang diajukan, pemohon wajib menguraikan dengan jelas tentang :
(a) kesalahan hasil perhitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan hasil penghitungan yang benar menurut pemohon; dan
(b) permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon.
Dalam pasal 75 UU MK tersebut, menegaskan tentang materi permohonan PHPU yaitu hanya tentang “MASALAH PERHITUNGAN SUARA”, bukan masalah administrasi dan masalah pidana, termasuk masalah keterlibatan organisasi keagamaan.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XX/2022 tentang uji materiil atas Pasal 157 ayat (3) UU No 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, frasa “sampai dibentuknya badan peradilan khusus”, bertentangan dengan UUD 1945, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dengan demikian kewenangan MK untuk memeriksa dan mengadili Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan, tidak lagi terbatas hanya sampai dibentuknya badan peradilan khusus, melainkan akan bersifat permanen, karena badan peradilan khusus demikian tidak lagi akan dibentuk.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam UU sebagaimana telah diuraikan dan Putusan MK tersebut diatas, maka dapatlah disimpulkan bahwa masalah administrasi Calon Wagub Provinsi Papua atas nama Yermias Bisai bukanlah kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutusnya.
Perintah UU sudah sangat jelas dan terang, sehingga MK tidak berwenang mengambil alih penanganan perkara yang menjadi kewenangan lembaga lain. Artinya putusan MK yang mendiskualifikasi wagub Provinsi Papua Yermias Bisai adalah tidak tepat dan bertentangan dengan UUD NRI 1945 maupun UU terkait. Juga bertentangan dengan Peraturan MK No. 3 Tahun 2024.
Putusan MK yang kontroversial tersebut merupakan Putusan final and binding, sehingga disini pintu keadilan, pintu upaya hukum, pintu HAM bagi termohon khususnya Yermias Bisai sudah tertutup rapat. Tidak ada celah upaya hukum apapun yang dapat dilakukan oleh Yesmias Bisai kecuali menerima dan melaksanakan putusan MK tersebut. MK nampaknya membuat putusan terhadap suatu hal yang diluar kewenangannya, sehingga terkesan MK hendak menunjukkan diri lembaga super body di negara ini.
Pakar Hukum Tata Negara Prof.Dr.Yusril Ihza Mahendra, SH. M.Sc, Pakar Hukum Pidana Prof.Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, SH. M.Hum dan Ketua Umum Peradi RI Prof.Dr.Otto Hasibuan, SH.M.M, mengatakan bahwa :
“Sesuai perintah UU, kewenangan MK adalah menangani, mengadili dan memutus perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil pemilihan. Sedangkan masalah administratif dan pidana adalah bukan kewenangan MK”. Masalah administratif adalah kewenangan Bawaslu, PTUN, PTUN sampai MA.
Masalah pidana adalah kewenangan Bawaslu, Gakkumdu, Pengadilan Negeri hingga MA.
Saran
Dengan melihat, menganalisis dinamika proses PHPU MK tersebut dan lebih khusus masalah administratif Calon Wagub Provinsi Papua atas nama Yermias Bisai, maka saran kami kepada DPR RI agar segera merevisi UU MK No 24 Tahun 2003, agar MK dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara perselisihan hasil pemilihan umum tidak keluar jauh dari perintah UU yaitu hanya pada hasil perolehan suara atau penghitungan suara akhir.
Tidak termasuk memeriksa, mengadili dan memutus masalah administratif dan pidana dalam Pemilihan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, calon Bupati dan calon Wakil Bupati, serta calon Walikota dan Calon Wakil Walikota.
Selain itu, kami sarankan kepada Majelis Kehormatan Hakim MK untuk melakukan klarifikasi lebih lanjut mengenai penanganan perkara terhadap Calon Wakil Gubernur Papua atas nama Yermias Bisai dan hasilnya dapat direkomendasikan kepada Presiden RI dan DPR RI agar kedepannya MK sebagai pelaku kekuasaan kehakiman untuk konsisten dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dengan tidak mengambil alih kewenangan lembaga lain.
DPR RI memiliki kewenangan hukum atas Hakim MK sebab 3 orang Hakim MK dipilih oleh DPR RI. Selain itu, revisi peraturan tata tertib DPR RI No 1 Tahun 2020.
Dengan menambahkan pasal 228A ;
ayat (1) menegaskan bahwa, “DPR dapat melakukan evaluasi secara berkala terhadap calon yang telah ditetapkan dalam rapat paripurna DPR”.
Ayat (2), “Hasil evaluasi sebagaimana sebagaimana dimaksud dalam (1) bersifat mengikat dan disampaikan oleh komisi yang melakukan evaluasi kepada pimpinan DPR RI untuk ditindaklanjuti sesuai dengan mekanisme yang berlaku”.
Hasil evaluasi DPR bersifat mengikat, sehingga DPR mempunyai kewenangan untuk mencopot/memberhentikan Hakim MK, MA, KPU, BAWASLU, KAPOLRI, PANGLIMA dan lain – lain.si.[*]
Semoga tulisan ini dapat membuka wawasan, bermanfaat serta menjadi referensi.
Dapatkan update berita Kalawaibumiofi.com dengan bergabung di saluran Portal kalawaibumiofi.com Nabire di WhatsApp: https://whatsapp.com/channel/0029Vb5HSBnLSmbczLEXuF0X. Caranya muda, Anda bisa mendapatkan melalui Aplikasi WhatsApp, atau dapatkan juga di medsos (Facebook, Twitter, Instagram, Youtube, Tiktok) dengan nama akun Warta Bumiofi.