Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
Wara-wiri

Tiada caci, joget pun jadi

2
×

Tiada caci, joget pun jadi

Sebarkan artikel ini
Dua imam baru (bersongkok) merayakan misa di Lentang, Jumat (31/1/2025). - Dokpri/An Sehadun
Example 468x60

Spontan kami melompat-lompat, begitu mendengar suara musik dari sudut kemah. Sedangkan operator sibuk memainkan lagu-lagunya. Plus mengatur naik-turunnya volume.Volume takandas memang. Dinding-dinding rumah dan kemah bergetar. 

Getarannya berbarengan dengan suara musik. Telinga pun nyaris tak bisa menangkap suara lain, di kiri dan kanan. Hanya gaung bersama teriakan.

Suasana kemah sore ini seperti diskotik. Lampu berwarna-warni. Mengalahkan keindahan senja, yang sejak satu jam yang lalu dijemput petang dan malam.

Semakin tinggi volume musik, semakin kami berjingkrak-jingkrak. Tangan diangkat. Kaki terhentak. Disertai gerakan kepala.

Pokoknya gerakan tetap mengikuti irama musik. Dari reggae sampai pop-rock dan DJ. Dari musik-musik lagu daerah, hingga lagu-lagu barat. 

Sementara itu, ada kelompok yang bergoyang ragam. Putar ke kiri dan ke kanan manise. Ke muka lalu ke belakang. Bergantian. Berirama.

Rombongan ini–penggoyang ragam ini–didominasi anak-anak gadis, dan ibu-ibu atau emak-emak. 

Tak kalah juga anak-anak. Dari TK hingga SD. Kakinya terlampau gatal, sehingga mengekor orang-orang dewasa, tuk bergoyang ria.

Sedangkan para pria berlompatan. Sanda, jai, reggae, dan jenis-jenis joget lainya. Semuanya ditampilkan di sini. Di natas ini.

Itulah luapan rasa bahagia dari warga Gendang Lentang. Pokoknya euforia. Riang gembira dan “semua bunga ikut bernyanyi“.

Tak ada lagi yang menggigil. Hanya keringat yang meluber.

Tiada lagi rintik hujan. Hanya angin yang bertiup manja. Yang masuk melalui celah dinding kemah.  

Tak ada lagi debu-debu yang beterbangan. Hanya hentakan kaki bak sepatu kuda. 

Tak ada lumpur atau becek. Sebab dua hari lalu, halaman kampung atau natas ini, sudah disirami dedak.

Riuh nian. Halaman Kampung Lentang dipenuhi manusia. Pria dan wanita. Anak-anak dan dewasa. Wan koe etan tua. Tak ada yang diam. Semuanya hampir berjoget ria. 

Te taun caci hitu ge. Ho’op rame ho’o ga!!”

Teriak seseorang sambil berjoget. Pokoknya kegembiraan luar biasa diluapkan.

Joget-jogetan kali ini memang beda. Bukan joget biasa. Bukan goyang biasa. Tapi, sebentuk ekspresi bahagia. Bahkan hingga tengah malam, volume musik tetap takandas

Hentakan kaki, dan teriakan, terus berlomba-lomba dengan udara basah.

Warga Gendang Lentang betul-betul menikmati suasana hari ini. Hari di penghujung Januari.

Jumat, 31 Januari 2025, adalah saksi. Bahwa hari ini menjadi puncak dari segala persiapan beberapa bulan lamanya.

Hari ini, sejak pagi, rintik hujan terus membasahi Natas Lentang. Namun, sesekali berhenti. Seperti tampak malu-malu.

Barangkali rintik-rintik mau mengetes keseriusan orang Lentang. Tuk berbahagia bersama dua imam baru, Pater Save dan Pater Sidus.

Joget-jogetan malam ini, merupakan akhir dari

rangkaian acara sejak pagi. Sepagian memang gerimis disertai badai. Namun, warga terus berdatangan. 

Mereka bahkan berlomba dengan badai. Namun, kondisi seperti itu bukan alasan, untuk mengikuti misa perdana kedua imam baru.

Ritual tuak curu saat penjemputan dua imam baru di Wae Mese, Lagur, Kamis (30/1/2025). - Dokpri/An Sehadun

Sejak Kamis kemarin pagi, kami menjemput mereka di Lagur. Lalu diarak ke paroki, hingga berakhir di natas dan rumah gendang Lentang.

Penjemputan diikuti upacara adat di rumah gendang. Hingga sore sampai tengah malam.

Acara adat itu banyak macamnya. Dari tuak curu, tuak karong salang, hingga tuak karong loce dan tei hang kolang.

Tak kalah juga tarian adat atau danding pimpinan Kaka Sil Jandur, yang begitu menggema. Ditambah tarian tiba meka (terima tamu) dari anak-anak SDI Watu Weri.

Sedangkan hujan mengguyur deras saat malam, Kamis ini. Hingga Jumat dini hari, hujan tetap tak mau dirayu.

Upacara adat jalan terus. Di tengah malam nan basah, dan udara yang membikin kulit menguar-menggigil.

Ingin saya berkata: Kemeriahan ini janganlah cepat berlalu, walau hujan tak mau dirayu.

Hari beranjak pagi. Fajar masih malu-malu. Tapi awal hari tetaplah cerah.

Meski kadang berkabut, butiran gerimis tak lelah berjatuhan. Derainnya menohok pelupuk mata dan ubun-ubun. 

Gerimis itu, usang tondong, kompak dengan angin. Cuaca Jumat pagi ini, memang tak mau bersahabat.

Perlahan tapi pasti, matahari mulai malu-malu memberikan senyuman. 

Tak terasa undangan dan pa’ang olo ngaung musi membanjiri natas dan kemah.

Mereka makin berjubel. Lalu duduk di kursi-kursi yang terjejer rapi.

Meski begitu, masih ada yang berdiri di belakang kemah. Atau di luar, di depan rumah-rumah warga Beo Lentang.

Dari arah belakang, di samping tumpukan salon, saya melihat ke depan. Pohon dadap menyibak deretan manusia. Di kiri dan kanan.

Pohon dadap adalah sebuah pohon yang ditanam dan tumbuh ditengah undakan batu bernama compang.

Compang ini membentuk lingkaran. Bila dilihat dari udara, kampung Lentang dan kampung-kampung di Manggarai pada umumnya, membentuk semacam spider web atausarang laba-laba. Dan compang adalah pusatnya.

Compang biasa digunakan untuk mempersembahkan sesajian, untuk leluhur atau Yang Tertinggi.

Ada goet-goet orang Manggarai yang familiar, seperti “uma bate duat, wae bate teku, natas bate labar, mbaru bate kaeng, dan compang bate dari“.

Saya seolah tak mau mengedipkan mata. Lantaran melihat lautan manusia. Tepat di bawah panggung, di sekeliling compang.

Di depan sana, panggungnya menunggu kaku. Setinggi kira-kira satu meter. Menuju ke atasnya harus melewati tiga anak tangga. 

Panggung itu didekorasi sedemikian rupa. Aneka bunga menambah kesan “wah”. Lengkap dengan spanduk foto dan moto dua yubilaris di dindingnya.

Dinding panti imam dan kemah, merah menyala. Pokoknya, menyala, Kaka!

“Ini pun belum semua undangan berdatangan. Hanya sebagian besar warga kampung dan kampung tetangga,” celetuk seseorang, yang berdiri di belakang saya.

Di samping kanan saya, lebih dari sepuluh pastor berjubah putih. Dibaluti pakaian misa khas imam Katolik–stola dan kasula. Putih dan kuning keemasan. 

Dia yang berdiri paling belakang adalah Pater Save. Di depannya ada Pater Sidus. Bersama stola, kasula dan jubah, keduanya mengenakan songkok bermotif songke. Mereka bersiap diri menuju altar. 

Inilah hari, dimana, misa perdana dipersembahkan. Juga syukuran. Saya pun mendengung pelan. “Mari, mari, kita pergi, kita pergi ke rumah Tuhan!!”

Sementara itu, suara koor di sisi utara, persis di samping kanan panggung dan altar, bergema mengarak para pastor. Paduan Suara SMA Negeri 1 Lelak ini, menambah suasana begitu khidmat. Lagu demi lagu diperdengarkan. 

Ritual tuak curu saat penjemputan dua imam baru di Wae Mese, Lagur, Kamis (30/1/2025). - Dokpri/An Sehadun

Barangkali, ini salah satu persembahan terbaik SMA Negeri 1 Lelak. Satu dari dua imam baru adalah alumni sekolah ini. Pater Sidus namanya.

Maka, paduan suara dari SMA Lelak, hampir pasti, mempersembahkan lagu-lagu dan suara terbaiknya. Ini demi sang kakak alumni.

Sementara seorang lainnya, Pater Save, merupakan tamatan SMA Negeri 1 Ruteng-Anam, Desa Bulan, Kecanatan Ruteng.

Kemarin rombongan penjemputan dari paroki dan keluarga, berhenti sejenak di Anam. Persis di depan sekolahnya 

Anak-anak SMA Anam bersama para guru, bersatu padu membuat pagar betis. Mereka menaruh syukur dan hormat bagi kakak alumni. Yang kini datang sebagai pastor.

Dua SMA ini–Lelak dan Anam, terbilang masih muda. Baru berdiri beberapa tahun yang lalu. 

Namun, dua sekolah di kawasan Kedaluan Lelak–Kecamatan Lelak dan Kecamatan Lelak–ini, sudah mencetak banyak alumni. Ada yang menjadi guru, tentara, polisi, dan pastor atau imam dan biarawan-biarawati. Sungguh luar biasa.

Hari semakin siang. Hujan semakin menghilang. Misa terus berjalan. Dan kami pun tetap ada di sini, Jumat, pekan ini.

Gelak tawa memenuhi kemah ketika waktu beranjak siang. Semacam selingan dari suasana misa.

Dua imam baru sejenak menoleh ke belakang. Kilas balik. 

Mereka bercerita tentang awal mula masuk “tembok biara”.

Kala itu, Save muda masih di kebun. Dia bersama orang tuanya di Golo Nosot–sebuah bukit yang berada persis di depan rumahnya. Rupanya sedang memetik kopi.

Anak kedua dari lima bersaudara ini, kaget setengah mati, ketika mendengar informasi tentang biara. Sidus muda, teman sepermainan Save, mengajaknya masuk biara.

Mendengar info dan ajakan Sidus, Save tak langsung ke rumah sepulang dari kebun. Dia langsung bertemu Pater Beni.

Pastor Kamilian itu, kelak menunjukkan kepada mereka, jalan ke gerbang Biara Pelayan Orang Sakit atau Kamilian.

“Sesampai di rumahnya, Pater Beni mempersilakan saya makan. Tapi saya bilang, saya sudah makan di kebun tadi,” kata Pater Save, disambut gelak tawa dan tepuk tangan.

Save tak langsung mengiyakan ajakan sang pastor. Alasannya sederhana. Dia belum mengenal pendidikan seminari menengah.

Namun, “Roh Tuhan” ada padanya. Beberapa menit kemudian, Save mengiyakan ajakan masuk biara. Dan…  

Sejak saat itu, sekitar sepuluh tahun kemudian, dua anak muda itu, ditahbiskan menjadi imam dalam Ordo Santu Kamilus atau Kamelian. Kini, keduanya berdiri di depan kami. 

Mereka bukan lagi sebagai Save muda yang pendiam itu. Atau Sidus muda yang jomel itu. 

Akan tetapi, mereka berdiri di sini dan kini, sebagai imam baru. Dan biarawan Kamilian. Jadi pekerja di kebun anggur-Nya.

Ribuan pasang mata menyaksikan penampilan mereka yang menawan. Ribuan telinga mendengar kilas balik dan kisah mereka, mengenai kehidupan membiara. 

Dan ribuan pasang telapak tangan bertepuk riuh. Serta seribuan mulut tak berhenti berdoa. Sekiranya Tuhan menuntun langkah keduanya, dalam melayani umat Tuhan.

Pater Save akan melayani umat di salah satu paroki di Maumere, Flores, sedangkan Pater Sidus di Negeri Kanguru, Australia. 

Sedianya doa umat Katolik di seluruh dunia, terutama Paroki Rejeng-Ketang dan Kampung Lentang, menyertai mereka.

Kilas balik keduanya, bersama tawa dan tepuk tangan, membuat waktu tak terasa, menuju acara selanjutnya.

Matahari makin tampak dari balik kabut. Gerimis pun segera pergi. Dan tibalah makan siang.

Anak-anak, mulai dari TK/PAUD hingga SD, dan SMP sampai SMA, berpakaian rapi. Mereka mengenakan sarung songke, selendang, kebaya, kemeja putih, destar, dan lain-lain. 

Tampak mereka keluar-masuk area panggung. Bergantian.

Rupanya, anak-anak ini akan membawakan atraksi. Menyanyi, menari, dan beberapa mata acara lainnya.

Riuhan memenuhi kemah. Disertai tepuk tangan, begitu satu per satu, atau kelompok demi kelompok, membawakan acaranya.

Kali ini tak ada caci. Biasanya, di kampung kami, acara tahbisan atau syukuran imam baru, disertai pementasan tarian caci.

Tahapannya adalah penjemputan, misa perdana dan atraksi, serta tarian caci. 

Penjemputan imam baru terdiri atas ritual tuak curu, tuak reis, tuak karong salang, dan tuak kapu. Serta ritual tuak karong loce, ritual tei hang kolang, dan ritual-ritual adat lainnya.

Sedangkan misa syukur diikuti resepsi atau “makan raya” dan atraksi, serta tarian caci.

Namun, kali ini tak ada pementasan tarian caci. Alasannya sederhana. Cuaca.

Indonesia mengenal dua musim setiap enam bulan, saban tahun. Musim kemarau dan musim penghujan. 

Persis akhir dan awal tahun, hujan membasahi Bumi Congkasae atau Tana Manggarai. Di Manggarai dikenal dengan sebutan dureng

Dureng adalah bahasa Manggarai untuk menyebut hujan, yang tak pernah berhenti, pagi sampai malam. Bahkan hujan turun setiap hari sepanjang pekan atau bulan.

Maka, syukuran dua imam baru kali ini, akhir Januari 2025, tak ada pementasan caci di Lentang. 

Sebagian besar warga Gendang Lentang, dalam sebuah sidang dengan panitia beberapa bulan lalu, bersepakat, bahwa caci ditiadakan. Itu pun melalui voting

Suara terbanyak tak menginginkan caci, karena itu tadi. Cuaca tak mau diajak kompromi.

Caci adalah tarian baku cambuk khas budaya Manggarai. Dia dipentaskan oleh laki-laki dewasa bertelanjang dada.

Biasanya caci digelar saat acara-acara besar. Misalnya, pesta adat (penti), upacara meminang gadis dan membayar maskawin/belis (wagal), congko lokap (peresmian rumah gendang baru), syukuran imam baru, dan lain-lain.

Namun, tiadanya caci tak sedikit pun mengurangi rasa haru, bahagia, dan kemeriahan kali ini. Tiada caci, joget pun jadi. 

Dan joget-jogetan sore sampai malam ini, goyang-goyangan pada petang, hingga tengah malam ini, sungguh membuat keringat meluber. Berbasahan. Atau orang Papua bilang, “goyang sampe abu naik”. Sungguh!

Suatu malam yang menusuk ubun-ubun, warga Gendang Lentang mengikuti misa bersama dua imam baru. Ini persembahan misa khusus, untuk warga Gendang Lentang. Tepatnya pada Jumat, 14 Februari 2025. 

Panitia bersepakat, bahwa momen, yang oleh orang muda dikenal dengan “Hari Valentin” ini, dijadikan evaluasi dan pembubaran panitia. Disusul misa di rumah gendang oleh kedua imam baru.

Dua imam baru dalam sebuah khotbah berterima kasih. Bahwa kali ini rangkaian acara syukuran imam baru, begitu meriah dan sukses. 

Itu berkat kekompakan. Berkat “kope oles todo kongkol lawa ca golo” untuk mengorbankan waktu, tenaga, ide, dan semuanya. Dari panitia, hingga semua warga Gendang Lentang. Bersambung.[*]

Dapatkan update berita Kalawaibumiofi.com dengan bergabung di saluran Portal kalawaibumiofi.com Nabire di WhatsApp: https://whatsapp.com/channel/0029Vb5HSBnLSmbczLEXuF0X. Caranya muda, Anda bisa mendapatkan melalui Aplikasi WhatsApp, atau dapatkan juga di medsos (Facebook, Twitter, Instagram, Youtube, Tiktok) dengan nama akun Warta Bumiofi.

Example 120x600
error: Content is protected !!