Nabire, Bumiofinavandu – Ini Foto caption diatas, merupakan tempat pertama Pater Le Cocq d’Armandville, SJ, menginjakkan kaki di Pulau Irian atau sekarang Papua (1894) tepatnya di Sekrua, Fakfak Papua Barat.
Pastor Le Cocq d’Armandville asal Belanda itu kemudian membangun pos Gereja Katolik dan membuat sekolah di sana.
Kisah pengabdian Pater Le Cocq d’Armandville
Melansir dari berbagai sumber, pada 20 Desember 1878, Pater Le Cocq ditemani misionaris lain yaitu Pater Kolf Schoten, berangkat menuju Hindia Belanda dengan kapal Torrington. Kapal itu pun tiba pada Januari 1879 di Batavia (sekarang Jakarta). Kedua Pastor tersebut disambut di pastoran Lapangan Banteng. Mereka singgah sebentar kemudian melanjutkan perjalanan menuju Semarang dan Surabaya.
Bulan Maret 1879, Pater Le Cocq bertugas sebagai Pastor rekan di Semarang dan melayani umat dengan gembira dan penuh cinta kasih. Kurang lebih dua tahun bertugas di Semarang, ia kemudian ditugaskan untuk perutusan di Maumere, NTT.
Tanggal 28 April 1881, sang Pater tiba di Larantuka lalu dan melanjutkan perjalanan ke Maumere pada 18 Mei. Di Maumere, Pater Le Cocq melayani umat sampai pelosok-pelosok bahkan di Kabupaten Sikka.
Di Maumere, Pater Le Cocg bersama Bruder Amatus Van Velde mendirikan sekolah berpola asrama. Mereka berbagi tugas, Bruder Amatus mengajar cara membaca, menulis dan menghitung. Sedangkang Pater Le Cocq mengajar tentang agama. Pendidikan ini dinilai sangat berhasil, walau sebagian anak sering keluar masuk asrama bahkan sampai ada yang tidak melanjutkan belajar lagi.
Hal lain adalah Pater Le Cocq dengan gigih dalam bekerja, namun ia sempat jatuh sakit dan tubuhnya semakin kurus. Pater kemudian berobat ke Surabaya. Setelah pulih, ia kembali melanjutkan karya dan pelayanannya.
Pindah ke Maluku dan Irian
Tahun 1891 pimpinan Serikat Yesus mencari misionaris untuk diutus ke Maluku. Pater Le Cocq dinilai sebagai misionaris yang handal, ia pun dikirim ke Maluku tepatnya di pulau Seram. Disini, Pater harus mencari jalan untuk mendapatkan wilayah yang berpendudukan banyak, sebab Pulau Seram sedikit penduduk.
Pater kemudian memasuki Pulau Watubela, Kasewu, Geser, dan pulau-pulau kecil lainnya di sana hingga ke Pulau Irian. Tepat pada 22 Mei 1894, pertama Pater menginjakkan kaki di bumi cenderawasih, tepatnya di Kampung Sekru, di semenanjung Fakfak. Di Hari pertama itu mulai membaptis delapan anak menjadi Katolik. 65 anak lagi dibaptis sembilan hari kemudian. Pater Hellings, Pater Le Cocq memutuskan untuk menetap di daerah ini dan sewaktu-waktu dapat melayani umat di Pulau Seram, Bomfia.
Memasuki bulan April 1895, Pater Le Cocq bersama Bruder Zinken dan Bruder Boekhorst menjejaki beberapa daerah lain wilayah lain, sebab Sekeru dinilai masih kurang penduduk. Bertiga kemudian berlayar menuju Kapaur, sebuah daerah yang banyak penduduknya.
Dalam perjalanan, Pater Le Cocq jatuh sakit. Setibanya di daratan, kedua bruder dibantu beberapa penduduk membaringkan Pater di sebuah gubuk beralaskan papan
Setelah beberapa hari dinyatakan sembuh, mereka mendirikan pastoran yang berjarak 150 meter dari Pantai. Disini Lah kedua Bruder dan Pastor itu berkarya, lalu 86 di daerah itu dibaptis.
Selain setia mewartakan firman, Pater Le Cocq juga mengajar dan mengobati orang sakit dan belajar bahasa daerah setempat di usianya yang memasuki 50 tahun. Wilayah itu kemudian berubah status menjadi stasi.

Terus mencari daerah yang banyak penduduknya
Di akhir tahun, stasi Kapaur kedatangan seorang tamu istimewa. Tamu itu adalah Pater Julius Keijzer, Superior Misi Serikat Yesus di Hindia Belanda. Pater Le Cocq meminta izin kepada Pater Superior untuk mengadakan pelayaran yang sudah direncanakannya, yaitu menyelidiki keadaan rantau di pantai arah sebelah timur sampai titik 138 dan 139 derajat. Sebab Pater Le Cocq ingin menemukan tempat yang lebih padat penduduknya dengan iklim bagus gunakarya penyebaran Injil.
Keinginan Pater Le Cocq dikabulkan Pater Superior, namun ada syaratnya yaitu harus kembali ke pulau Jawa setelah pelayannya selesai.
Bulan Maret 1896, Pater Le Cocq menyatakan kepada Bruder Zinken soal keberangkatannya. Akan tetapi, Bruder Zinken merasa cemas karena mengetahui kondisi kesehatan Pater Le Cocq. Ia memberi nasihat agar menunda perjalanannya mengingat pada bulan Maret dan Agustus ombang mengganas di wilayah tersebut. Namun Pater Le Cocq bersikeras dan mengatakan bahwa kematiannya tidak akan di tempat tidur, melainkan di laut lepas.
Dia menyewa Kapal Al Bahanasa. Tanggal 05 Maret 1896, kapal pun berlayar dari pulau Bone, Kapaur dan tiba di Pantai Mimika pada pertengahan Mei.
Pater Le Cocq bersama seorang pedagang dan seorang penerjemah dari Seram segera turun dari kapal. Namun karena ombak yang begitu mengganas (besar), kapal hanya berlabuh di tengah lautan. Dan harus menggunakan sekoci untuk sampai ke bibir pantai.
Sang pater yang keras kepada dan pekerja keras itu tinggal di pantai sekira 13 hari lamanya. Ia mulai mengobati orang-orang di sana dan mulai mengajar dengan bantuan penerjemah.
Tiba waktunya Pieter Salomon, kapten kapal Al Bahanasa, menyampaikan pesan bahwa ia akan segera kembali. Pada 26 Mei 1896 barang-barang Pater Le Cocq sudah mulai dimasukkan ke dalam kapal. Keesokan harinya, pater Le Cocq yang sudah berada di atas kapal kembali ke darat untuk melunasi barang dan menjemput anak-anak yang akan dibawa ke Kapaur. Setelah semua urusan selesai, sore menjelang petang pater Le Cocq berpamitan pada orang-orang di pantai hendak kembali ke kapal. Ombak sudah semakin besar, sekoci yang dinaiki pater Le Cocq berusaha menembus ombak yang ganas, sampai akhirnya menghempaskan sekoci itu bersama seluruh penumpang di dalamnya.
Masih ada yang sempat melihat pater Le Cocq berusaha menepi bersama seorang anak di pelukannya, namun ketika di darat hanya tinggal anak itu seorang diri. Pater Le Cocq sendiri hilang. Beberapa pendayung mencoba mencari jenazah pater Le Cocq di lautan, namun tidak pernah menemukannya.
Kapal Al Bahanasa harus tetap melanjutkan perjalanan ke Kapaur. Sesampainya di sana, kapten kapal, Pieter Salomon, menyampaikan kabar duka pada bruder Zinken bahwa Pater Le Cocq d’Armandville tewas ditelan ombak dan jasadnya tidak ditemukan.
Masa Kekanak-kanakan
Le Cocq d’Armandville lahir di Kota Delf, Belanda pada 29 Maret 1846. Ia diberi nama Cornelis Yohan Le Cocq d’Armandville yang artinya ‘Si Jago’ dari Armandville. Dalam Bahasa Prancis nama itu berarti bagaikan tiupan sangkakala. Cornelis adalah keturunan Prancis. Ketika revolusi Prancis meletus pada 1789-1804, kakek-neneknya terpaksa mengungsi ke Belanda.
Ayah Cornelis adalah seorang perwira di kota Delf. Ia bertugas di Terneuzen, kota kecil dekat perbatasan Belgia. Ayahnya kemudian dipindah tugaskan ke Maastricht. Di sini Cornelis disekolahkan di Sekolah Dasar Katolik. Sekolah ini dia suh oleh para bruder Onbevlekte Ontvangenis van Maria (O.O.) yang dalam bahasa Latin disebut bruder Fratres Immaculatae Conceptionis (FIC). Di sekolah ini Cornelis belum bisa membuang sifatnya yang lamban, sampai ia ditegur oleh bapaknya: “Cornelis, waktu itu berharga.” Namun, Cornelis juga dikenal sebagai anak yang ramah, berpenampilan sopan dan suka membantu.
Menjelang kelulusan Sekolah Dasar, orangtua Cornelis berencana menyekolahkannya di sekolah milik Jesuit. Cornelis harus pergi ke Gymnasium Jesuit Katwijk yang letaknya di pantai laut utara, karena sekolah Jesuit belum ada di Maastricht. Sekalipun berat bagi Cornelius berpisah dengan orang tuanya, namun ia tetap membina hubungan baik melalui surat.
Di Gymnasium Katwijk, Cornelis senang bertanya tentang kehidupan santo dan santa. Mendengar kisah Fransiskus Xaverius yang melakukan misi ke Asia, termasuk Maluku, hati Cornelis selalu bersemangat.
Kisah-kisah Pastor yang melakukan misi ke Asia juga semakin membuat semangatnya berkobar-kobar. Sayangnya, Cornelis tidak dapat menyelesaikan pendidikannya di Gymnasium Katwijk karena sering sakit. Cornelis akhirnya pindah ke Gymnasium Saint Louis di Sittard. Ia paling menonjol dalam pelajaran Bahasa Latin dan Belanda, Aljabar, dan Sejarah. Pada 1865 ia lulus. Ia kemudian pulang ke rumah dan menyampaikan keinginannya untuk menjadi seorang Jesuit.
Masa Pendidikan di Serikat Yesus
Pada 26 September 1865, Cornelis Yohan Le Cocq d’Armandville berangkat ke wisma Mariendal, tempat ia akan menempuh pendidikan awal (novisiat) sebagai calon anggota Serikat Yesus. Pada 27 September 1967, setelah menjalani 2 tahun masa novisiat, frater Le Cocq mengucapkan kaul pertamanya. Satu tahun berikutnya ia menjalani masa Yuniorat.
Pada Oktober 1868, frater Le Cocq berangkat ke Paris untuk belajar Filsafat. Ia belajar cukup keras sampai sering sakit. Pada 1870, ketika terjadi perang besar antara Prancis dan Jerman, frater Le Cocq diminta menggantikan seorang bruder untuk merawat beberapa pater dan frater yang sakit. Sambil merawat orang sakit ia juga tetap mengikuti kuliah dan membaca buku-buku filsafat. Pada Januari 1871 Perancis mengalami kekalahan. Kolese Santo Mikhael, tempat Le Cocq belajar dijadikan rumah sakit. Frater Le Cocq kembali berkarya sebagai perawat dan apoteker. Ia harus belajar keras menghadapi ujian filsafat sambil tetap merawat para pasien. frater Le Cocq dikenal teman-teman dan saudara sekomunitasnya sebagai seorang pekerja keras sekaligus baik hati.
Setelah menyelesaikan pendidikan Filsafat, frater Le Cocq menjalani Tahun Orientasi Kerasulan (TOK) di Kolese Katwijk. Di sana ia mengajar Bahasa Prancis dan ilmu alam. Suatu ketika ada peristiwa penting terjadi. Kolese kedatangan tamu bernama pater Palinckx. Pater Palinckx termasuk kelompok Jesuit pertama yang diutus ke Hindia Belanda. Ia berkarya di Yogyakarta, Kedu dan Banyumas. Cerita pater Palinckx tentang kesultanan Yogyakarta membuat hati frater Le Cocq berkobar-kobar.
Setelah dua tahun mengajar di Kolese Katwijk, frater Le Cocq ditugaskan belajar Teologi di kota Maastricht. Pada 8 September 1876, frater Le Cocq ditahbiskan menjadi imam.
Setelah menyelesaikan studi teologi, pater Le Cocq menjalani masa Tersiat di Drogen, Belgia. Ketika masa Tersiatnya selesai, pada 1978, ia menyampaikan berita pada kedua orang tuanya bahwa ia akan ditugaskan sebagai misionaris di Hindia Belanda. Keluarganya sangat mendukung perutusan pater Le Cocq sehingga membuat ia semakin mantap menyambut tugas barunya itu.
Berkarya di Tanah Misi
Kematian pater Le Cocq d’Armandville, Sang Misionaris yang berkemauan keras dan berdaya tahan walau harus menanggung sakit dan kesendirian demi pelayanan kepada umat dan Tuhan, akhirnya menjadi inspirasi bertumbuhnya karya misi Katolik di Papua.
Nama tempat ini adalah Pulau Bonyum, Tanah Mbaham Mata, Kabupaten Fakfak….Kedepan tempat bersejarah ini akan ditetapkan sebagai Situs Sejarah.
“Terima kasih Pemprov Papua Barat dan Pemda Kabupaten Fakfak, Keuskupan Sorong Manokwari, Tokoh-tokoh Awam Katolik Tanah MbahamMata, dan Umat Katolik Stasi Brongkendik Fakfak…Pasti Tuhan Menyertai kita,” ungkap legislator Papua, John NR Gobai.[*]
*Kisah ini sewaktu-waktu akan diperbaharui. Salam!
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Seputar Papua. Mari bergabung di Grup Telegram “Bumiofinavandu.com”, caranya klik link https://t.me/wartabumiofinabirepapuatengah lalu join. Jangan lupa install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.