Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
Meepago

Ketua DAP Dogiyai, Tapal ditentukan oleh tanda yang sudah diletakkan oleh leluhur

55
×

Ketua DAP Dogiyai, Tapal ditentukan oleh tanda yang sudah diletakkan oleh leluhur

Sebarkan artikel ini
Suasana Diskusi MRP pokja adat di Hotel JDF Nabire (Selasa, 22/6/2021) – Bumiofinavandu.
Example 468x60

Nabire, Bumiofinavandu – Ketua Dewan Adat Papua (DAP) wilayah Kabupaten Dogiyai, Germanus Goo mengatakan, tapal batas suatu daerah atau Kabupaten tidak bisa diukur atau di tentukan oleh Pemerintah atau Gereja. Namun harus ditentukan oleh Badan Musyawarah Adat (BMA), Dewan Adat setempat bersama para sesepuh di wilayah yang hendak menentukan tapal batas.

Sehingga, tapal batas perlu diukur berdasarkan 15 Generasi sebelum generasi saat ini. yakni berdasarkan tanda tanam seperti bambo, kepala, aliran sungai atau lereng gunung.

“Tidak boleh Pemerintah atau gereja urus tapal batas. Karena patokan itu sudah ada sejak nenek moyang yang harus diikuti. jadi jangan sampai dirubah lagi,” ujar Goo, dalam diskus

i bersama Majelis Rakyat Papua (MPR) Pokja adat di Hotel JDF Nabire. Selasa (22/06/2021).

Menurutnya, beberapa waktu lalu keuskupan Timika. Termasuk oleh pemerintah beberapa waklu lalu di Dogiyai.

Ia berkeberatan. Sebab bagi Goo, gereja tidak mempunyai hak dalam mengurus persoalan adat. gereja hanya mengurus umatnya dengan membaptis, memberikan pembinaan iman dan mewartakan Injil bagi domba-dombanya.

Sementara pemerintah tidak mengetahui tentang batas-batas yang sudah ditentukan oleh nenek moyang pada jaman dahulu.

“Jadi saya waktu itu sudah bilang ke masyarakat, jangan ikut Pemerintah dan Gereja yang mau urus tapal batas. Nanti Dewan adat, BMA dan MRP yang urus soal tapal batas,” tuturnya.

Goo, juga menyerukan agar seluruh tambang emas yang beroperasi di wilayah adat Mepago dihentikan operasinya. Sebab ia menilai, hadirnya tambang emas yang dikelola oleh perusahaan tidak memberikan keuntungan bagi masyarakat pemilik hak ulayat.

Sebaliknya, perusahaan tambang hanya mengutamakan keuntungan tanpa memperhatikan lingkungan. Hutan dirusak dan ditebang habis-habisan, juga pemilik hak ulayat hanya diberi bagian yang tidak bermanfaat. Apalagi perusahaan asal Korea.

“Kalau ada perusahaan, tidak perhatikan pemilik hak ulayat, hanya kasih 100 atau 200 juta lalu buat masalah. Contoh sudah banyak terjadi di kilometer 100 (perbatasan Nabire Dogiyai), atau sering buat ulah dan kacau dengan masyarakat. saya minta MRP dorong kepada pemerintah untuk hentikan tambang di wilayah Meepago,” ucapnya.

Di tempat yang sama, Sekretaris Umum Suku Wate, Otis Monei mengisahkan sangat berpengalaman dalam mengelola pertambangan.

Ia sepakat jiga perlu pemerintah harus memberikan ruang bagi pemilik hak ulayat untuk mengelola tambangnya sendiri ketimbang mengizinkan perusahaan asing.

Ia mencontohkan, sebagai pemilik hak ulayat dan perusahaan tambang di sungai Musairo, dirinya terasa asing lantaran banyaknya perusahaan kalah itu yang mengklaim arealnya.

“Contoh sederhanya saya sendiri. kita ini pemilik hak ulayat tapi dikejar orang luar, kalau mereka sudah masuk dengan bintang-bintang kita mau apa. Jadi kami juga mohon MRP untuk memperhatikan hal ini,” tambah Money.(Red)

Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!