Oleh:
Prof. Sumanto Al Qurtuby
Sudan (nama formalnya “Republik Sudan” atau “jumhuriyyah al-sudan”), yang diambil dari kalimat Arab “bilad al-sudan” atau “negeri orang-orang kulit hitam”, adalah salah satu negara termiskin di dunia dengan tingkat atau kualitas ekonomi, kesehatan, dan pendidikan yang sangat buruk.
Penduduknya banyak yang mati kelaparan karena malnutrisi, selain serbuan penyakit yang ganas. Di negeri yang berada di kawasan Afrika timur-utara ini dikenal sebagai sarang penyakit malaria, campak dan tuberkolosis yang sangat akut. Selain mati karena kelaparan dan penyakit, juga lantaran kekerasan.
Sejak zaman bahula, Sudan menjadi area perang berbagai suku-bangsa (dan agama): Nubia, Arab, Turki, Inggris, dan etnik-etnik Afrika, dan berbagai rezim silih-berganti menguasai Sudan: Kush, Nubia, Sennar, Turkiyah, Mahdi, Anglo-Mesir, dsb.
Perang Sipil kembali meletus pada awal 1980an hingga 2005 saat Comprehensive Peace Agreement ditandatangani. Itupun tidak menjamin konflik dan kekerasan berakhir hingga Sudan Selatan memisahkan diri pada 2011. Pisahnya Sudan Selatan, lagi-lagi tidak menjamin perdamaian terwujud. Kekerasan terus berkecamuk hingga kini.
Sudan memang negeri yang sangat plural, baik dari segi etnis, agama maupun faksi politik yang sering memicu kekerasan dan perang!
Karena masing-masing kelompok etnis-agama-politik ingin menjadi penguasa Sudan, maka mereka silih-berganti rebutan kekuasaan dan mengkudeta pemerintah.
Akibatnya, konstitusi dan undang-undang bolak-balik diganti, tergantung siapa yang berkuasa. Sejak 1983, rezim Ja’far Muhammad Nimeri memberlakukan Syariat Islam di Sudan yang kembali memicu Perang Sipil berkepanjangan.
Tapi di kemudian hari ia terpaksa “hijrah” mendukung Islamisme dan menjadi penyokong kelompok Islamis radikal yang berafiliasi ke Ikhwanul Muslimin. Selama berpuluh-puluh tahun faksi Islamis radikal berkuasa di Sudan hingga tumbang tahun lalu.