“Sebanyak 16 balok besar menyokong bangunan seluas 560 meter persegi. Tiang-tiang tersebut merupakan peninggalan abad ke-17”
“KALAU kapas dijatuhkan, terbangnya bisa sampai ke seberang sungai.” Begitu Faustinus Suka Ranglut, 36, mengilustrasikan ketinggian betang yang dibangun para leluhurnya. Rumah tradisional tersebut menjadi permukiman warga Dayak Taman di perhuluan Sungai Mendalam, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.
Mendalam merupakan anak Kapuas, sungai utama di Kalimantan Barat, dan terpanjang di Indonesia. Sungai Mendalam berlebar sekitar 30-50 meter. Bisa dibayangkan betapa tinggi bangunan yang dimaksud Faustinus tersebut. Sehelai kapas pun bisa melayang hingga melintasi sungai manakala dijatuhkan dari betang.
“Sulit memperkirakan berapa tingginya. Mungkin bisa puluhan meter,” kata Faustinus saat ditemui pada akhir Oktober lalu.
Gambaran mengenai ketinggian betang tersebut didapatnya dari cerita turun-temurun. Dia sendiri tidak pernah melihat bentuk asli bangunan lantaran tidak ada lagi wujudnya sejak tiga abad silam. Namun, ada peninggalan bersejarah yang masih bisa disaksikan hingga saat ini.
Peninggalan itu berupa tonggak belian atau ulin yang merupakan tiang fondasi betang. Sebanyak 16 tiang tersebut masih berwujud batangan kayu asli beserta kulit yang mengeras. Urat kayu pun bertimbulan hingga membentuk alur di permukaan kulit. Walaupun begitu, kondisi setiap tiang masih terlihat kukuh.
Balok berusia sekitar empat abad tersebut juga dijadikan sebagai tiang fondasi di betang yang saat ini ditempati keluarga Faustinus. Lokasinya berada di Desa Ariung Mendalam, Kecamatan Putussibau Utara, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.
Kayu menjulang itu sekaligus menjadi tiang utama bangunan. “Betang ini dinamai Betang Semangkok karena berada di muara Sungai Semangkok. Betang biasa kami sebut juga solangke,” ujar Faustinus.
Arus migrasi
Bukti bahwa tiang-tiang di Betang Semangkok merupakan bahan bekas pakai juga tergambar dari keutuhan material. Ada lubang bekas dudukan gelegar pada setiap tiang. Tingginya sekitar 1 meter dari permukaan lantai. Bekas dudukan ini menandakan betang sebelumnya jauh lebih tinggi daripada betang sekarang, yang hanya 7 meter.
“Tiang tidak bisa dicabut sehingga harus ditebang saat pindah,” lanjut Faustinus, yang karib disapa Ranglut.
Betang Semangkok merupakan betang ketiga bagi komunitas adat Dayak Taman di Mendalam. Bangunan pertama dibangun sekitar 1.600 di perhuluan sungai. Permukiman tersebut dinamai Betang Sinsiung Emas, yang diambil dari nama tokoh pendirinya. Nama ini juga diabadikan untuk dusun di lokasi Betang Semangkok berada.
Sekitar seabad kemudian, mereka berpindah dan membangun permukiman baru di sebelah hilir. Lokasi tersebut sekarang masuk wilayah Desa Datah Diaan yang merupakan perkampungan Dayak Kayaan. “Saat itu belum ada orang (perkampungan) Kayaan di Mendalam. Cuma ada Taman, dan Bukat di Nanga Hovat,” aku Ranglut.
Betang kedua terdiri atas 160 pintu atau bilik yang merupakan hunian keluarga. Bangunan ini didirikan dengan mengunakan tiang fondasi dari betang sebelumnya. Material bangunan itu dibawa dengan cara dihanyutkan di sungai dan giring mengikuti arus ke hilir.
Dari Datah Diaan, migrasi berlanjut ke hilir lagi sekitar dua abad kemudian. Sebuah betang pun dibangun sebagai permukiman baru di Semangkok. Pembangunannya juga memanfaatkan tiang fondasi lama yang semakin memendek. Ujung tiang telah menancap kuat di dasar tanah sehingga harus dipotong kembali saat berpindah.
“Perpindahan dilakukan agar lebih dekat dengan (komunitas) Dayak Taman lainnya,” jelas Ranglut.
Cagar budaya
Betang Semangkok membentang sepanjang 40 meter ke samping dengan lebar 14 meter. Sebanyak 15 bilik dibangun sebagai hunian bagi 38 keluarga. Bangunan seluas 560 meter persegi ini bermaterial utama belian dan jenis kayu lokal lainnya. Balok bertakuk menjadi akses satu-satunya untuk menaiki betang.
Betang Semangkok juga merupakan permukiman tua. Ia dibangun pertama kali pada 1914 dan diresmikan secara adat pada 1928. Pemerintah pun kemudian menetapkan bangunan ini sebagai cagar budaya pada 1992. Seorang juru pelihara dari warga setempat ditunjuk sebagai pengelola.
Situs resmi Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata Kapuas Hulu menyebut ada 12 cagar budaya di Kapuas Hulu. Sebanyak tujuh di antaranya betang, termasuk di Semangkok. Betang ini juga tercatat sebagai betang ketiga tertua di Kapuas Hulu, setelah Bukung yang dibangun pada 1509, dan Banua Tengah pada 1864.
“Di Ariung Mendalam ada tiga betang tetapi yang tertua Betang Semangkok. Satu di antara betang tersebut (para penghuninya) berasal dari sini,” jelas Ranglut, yang juga juru pelihara Betang Semangkok.
Betang Semangkok berjarak tempuh sekitar 30 menit dengan menggunakan longboat 40 PK dari Putussibau, ibu kota Kapuas Hulu. Kondisi bangunannya masih asli, kecuali bagian atap yang semula dari sirap diganti seng sejak 2012. Permukiman yang berada di kawasan penyangga Taman Nasional Betung Kerihun ini juga menjadi tujuan wisata.
Beragam tradisi, ritual adat, dan kearifan lokal pun masih dilestarikan para penghuni betang. Di antaranya, kerajinan manik-manik dan anyaman daun perupuk, sejenis pandan hutan. Pelestarian ini meneguhkan bahwa betang bukan sekadar tempat tinggal bersama. Ia sekaligus menjadi episentrum pelestarian budaya.
Sujarni Alloy dan kawan-kawan dalam Mozaik Dayak: Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat, menyebut betang merupakan potensi pendukung pelestarian budaya Taman. Pada beberapa subsuku Dayak di Kalimantan, pola permukiman serupa sudah lama punah.(*)