Mendengarkan instrumen lagu-lagu taize sambil mengetik, serasa kenangan di “tembok-tembok sunyi” tempo dulu tercipta. Instrumen ini lalu mengantar saya untuk kembali berjibaku dengan realitas.
Realitas tentang di sini, di tanah ini. Realitas yang direfleksi kembali.
Buku, kenangan, dan masa depan adalah inspirasi yang tetiba datang tatkala nada, suara dan dengung memikat telinga.
Bunyi nan harmonis membuat saya fokus dan terus menulis tentang apa pun yang mau saya tulis.
Huruf-huruf dalam keyboard laptop kesayangan ini seakan menyatu dengan jari. Jalan tanpa hambatan menata aksara.
Tahun-tahun dengan aneka kisahnya, adalah waktu yang terlalu lama, dan disayangkan untuk tidak ditulis. Meski dalam ruang dan waktu yang berbeda, toh tidak menghilangkan nilai hakikinya.
Ada banyak hal yang saya dapat di tanah ini. Banyak hal itu mengajarkan tentang peri kehidupan. Baik dengan sesama maupun dengan Tuhan.
Siapa pun yang tinggal di kota ini, hampir pasti punya cerita. Aneka pengalaman akan menjadi kenangan.
Makanannya, udaranya yang dihirup, alam dan penduduknya, setidaknya mengajarkan kita banyak kehidupan yang bernilai.
Kesederhanaan, mencintai budaya dan identitas diri, kritis terhadap ketidakadilan dan penipuan yang direproduksi sedianya yang menjadi keniscayaan.
Bekal itu nanti akan diteruskan kepada anak cucu. Bahwasannya, siapa pun yang meremehkan budaya dan tradisi kita, dia itu yang bakal menjajah kita secara psikologis. Lalu merambah ke alam dengan kekayaannya.
Tentu kita tak menginginkan tanah dan segala milik kita direbut habis-habisan. Lalu kita jadi penonton. Tidak!
Kesemua hal yang saya sebut di atas, merupakan refleksi suatu ketika, tatkala pulang kampung, seusai kuliah di Port Numbay beberapa tahun silam.
Port Numbay adalah sebutan orang asli penduduk atau pemilik ulayat Kota Jayapura. Nama kota yang didirikan seratus delapan tahun lalu ini bergonta-ganti; dari Holandia, Kota Baru, Sukarnopura, sampai kini Jayapura.
Di kota ini banyak cerita tawa, bahagia, dan mungkin pilu. Bergantian dan penuh warna.
Tapi kali ini saya ingin menceritakan hal spesifik, yang membuat kau pasti ingin kembali. Seperti kata Kaka-Kaka dari Black Brothers dalam lagunya; pergi untuk kembali.
Bukan sekadar lelak-lekuk teluknya, atau lautan luasnya, atau Hongkong di Waktu Malam-nya.
Bukan itu yang mau saya bagikan, melainkan religiositasnya yang terjelma dalam ini: peta dan papeda.
Ada apa dengan dua “barang” ini?
Peta, yang pasti bukan “google map“. Bukan pula buku bergambar pulau Papua dan lautan pasifik, serta negara Papua Nugini, Australia dan Republik Palau. Atau yang sambung menyambung menjadi satu. Bukan pula globe. Ups…
Globe? Bila merujuk pada bentuknya yang bulat, bisa jadi iya. Barangkali masih ada relevansinya.
Daripada mendayu-kemayu, berlama-lama, maksud saya, peta adalah akronim dari “pegang tangan”.
Kitong di Jayapura biasa menyebut “jabat tangan” dengan peta. Tapi bukan asal jabat tangan lalu disebut peta.
Begini:
Natal dan lebaran adalah dua momen yang ditunggu-tunggu. Tidak hanya oleh anak-anak yang akan menjadi “pasukan kaleng”, tapi juga oleh sanak keluarga dan orang-orang dewasa. Apalagi anak kuliahan yang tinggal di kos.
Suatu ketika saat natal, saya diajak kawan-kawan untuk peta. Tanpa pikir panjang saya menyiapkan peta. Cek di Gramedia. Peta itu saya simpan di saku saat jalan nanti. Biar dibilang turis, jadi.
Menjadi anak kos, kuliah, dan sambil bekerja bagi kami saat itu, merupakan masa “mati-hidup”. Leher putus alias lepu.
Maka disiasati dengan mengurangi stok rokok. Bahasa kerennya: Hemat pangkal bertahan.
Prinsip hidup untuk bertahan tentu beralasan. Sebab “hasil keringat” akan dibagi-bagi ke dalam beberapa kelompok pengeluaran.
Ada kelompok “beli KRS”, kelompok bayar kos, makan-minum, malam mingguan atau apel (bendera), fotokopi, print paper, makalah, dan lain-lain.
Oleh karena itu, peta menjadi momen yang ditunggu-tunggu. Momen makan enak, makan banyak, minum banyak, dan sebanyak-banyaknya.
Saat peta biasanya anak-anak kos ini “serbu” pemilik rumah. Tak jauh bedanya dengan “pasukan kaleng” tadi. Datang lenggak-lenggok, pulang seperti dari supermarket. Kresek dipenuhi “belanjaan’ dari pemilik rumah. Wuyuh….
Natal dan lebaran bergantian. Saat natal kau yang tinggal di luar Papua, pasti terkesima. Sebab saat ini, siapa pun berbondong-bondong datang untuk peta. Tak peduli apa agama atau sukunya.
Yang penting kitorang satu Jayapura. Datang merayakan hari bahagia umat beragama yang kita kunjungi. Begitu pun sebaliknya.
Saat lebaran juga kau pasti terkagum melihat pemandangan yang indah di rumah. Yang datang pakai kalung salib.
Dari kalung ukuran sebesar peniti sampai salib seukuran besi terali, dari sepanjang leher sampai tali pusar–semua berangkulan.
Rangkulan dan jabat tangan dibarengi ucapan “mohon maaf lahir dan batin” kepada tuan rumah–teman dan sanak keluarga.
Jadi, kami petanya dari Sentani sampai Jayapura Utara, dari Keerom sampai Jayapura Selatan. Keliling dari pagi sampai malam.
Ya, itu tadi. Berputar-putar bagai globe. Praktis dapur kosong saat peta. Horee, kami gantung periuk!
Setelah pulang pun berlama-lama di toilet karena berbagai jenis makanan, kue-kuean, dan minuman masuk di perut. Usus bekerja ekstra keras.
Lalu soal papeda.
Papeda itu nama makanan dari bahan sagu. Tepung sagu yang dipanaskan. Lalu diputar-putar sehingga tampak seperti lem kanji.
Ia dicampur kuah ikan, rica-rica atau lombok, dan bunga pepaya atau jenis sayuran lainnya, serta keladi.
Siapa pun yang belum coba tentu bertanya: ini makanan apa ee? Tapi sekali saja kau merasa, lidahmu bakal ketagihan.
Kau bakal ketagihan bak merindu seruput kafein dan mengisap nikotin. Atau kangen merapal syair-syair ritmis pujangga Lebanon, Kahlil Gibran.
Saat papeda di atas piring, siap saji: lidahmu pasti bergoyang (turun naik), tenggorokan berbunyi menelan liur, dan perut paduan suara menyambut makanan khas orang Papua ini. “Woi papeda cepat sudah!!”
Dalam sebuah kesempatan di paruh akhir 2017 di Jakarta, saya berbincang dengan salah seorang teman. Dia dari Filipina.
Kami ngobrol dan saya memerkenalkan diri, bahwa saya datang dari Jayapura.
Dia mengaku pernah ke Papua. Tapi bukan di Jayapura. Saya tanya apa kesannya tentang Papua. Katanya banyak hal menarik dan berkesan.
“Pernah makan papeda?” Saya bertanya.
Tentu saja jawabannya pernah makan, dan itu sangat lezat. Saya pun menantangnya agar sesekali waktu mengunjungi Papua lagi.
“Satu hal yang membuat saya ingat Jayapura dan ingin kembali adalah makan papeda,” kata kawan saya yang lainnya, pada suatu kesempatan.
Ya, papeda. Papua penuh damai. Damai saat makan bersama. Pacem in Papua.
Papeda bisa membikin persaudaraan dan kekeluargaan menjadi lengket. Selengket cinta kaka untuk ko ade nona. Aduuu mama sayang ee….!!!
Kawan komika jebolan SUCI 7 Kompas TV, Mamad Alkatiri bilang, kalau uang triliunan dari “perusahaan raksasa itu” bikin papeda, mungkin satu Indonesia ini lengket.
Hmmmm, omong-omong tentang uang, rupiah su kalah. Dolar naik. Empat ribu sama dengan satu Kina, di kitong pu saudara di negara sebelah–PNG. Apalagi negaranya “Om Sam” yang ambil kitong pu emas: lima belas ribu satu dolar, kawan! Yesiwanaeeee.
Yeah, daripada pikir dolar, mari kita makan papeda. Sambil menunggu peta usai malam sunyi berbintang di Betlehem. Sambil bernyanyi syahdu:
“Jauh di dusun yang kecil di situ rumahku.…” [*]
#Jpr. 13 Sept 2018, TRM
Dapatkan update berita Kalawaibumiofi.com dengan bergabung di Telegram. Caranya muda, Anda harus menginstall aplikasi Telegram terlebih dulu di Android/Ponsel lalu klik https://t.me/wartabumiofinabirepapuatengah lalu join. Atau dapatkan juga di medsos (Facebook, Twitter, Instagram, Youtube, Tiktok) dengan nama akun Warta Bumiofi.