Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
Wara-wiri

Catatan perjalanan pulang: Kembara tak bertepi

18
×

Catatan perjalanan pulang: Kembara tak bertepi

Sebarkan artikel ini
Keponakan saya, Rafi, ketika main-main pada suatu sore, 15 Januari 2018 - Dokpri/TR Marten.
Example 468x60

Keponakan saya, Rafi, ketika main-main pada suatu sore, 15 Januari 2018 – Dokpri Jayapura dua puluh enam Desember 2017, Selasa pagi, yang lain dari yang lain. Orang-orang sibuk ke gereja untuk merayakan pesta Natal kedua.

Aku masih ngorok ketika pukul enam masih terlalu gelap dan terbuai mimpi, lantaran baru tidur pukul empat dinihari. Adikku Yuliano membangunkan Aku yang entah memimpikan apa setelah letih menjabat tangan dari rumah ke rumah, Senin kemarin.

“Bersiap-siap ke bandara sudah,” kata Yuliano membangunkan tidurku.

Kami mulai berkemas setelah sebelumnya memesan tiket Citilink ke Karlos, adik sepupu laki-laki dari mamaku. Aku memanggilnya om dalam hubungan kekeluargaan kami.

Udara pesisir danau Sentani menuju bandara sangat sejuk. Hujan rintik masih menyapa melalui jendela mobil.

“Kita pelan atau ngebut,” kata Yohanes, kawan sekampung, yang menyetir mobil menuju bandara pagi ini.

“Keberangkatan pukul sembilan,” jawabku singkat.

“Apakah nanti Kakak pulang dengan si rambut panjang?” kata Ovansius mencanda.

Pertanyaan Ovan sama seperti kawan-kawan lainnya beberapa waktu terakhir. Pulang satu orang dan kembali dua orang, atau tidak kembali sama sekali. Terus kalau orangnya tidak ada? Itu lain cerita lagi.

Di dalam mobil kami berempat: Yohanes, Yuliano, Ovansius dan Aku. Bercanda tentang masa depan, keluarga, dan segala tetek-bengeknya mewarnai perjalanan tiga puluh menit menuju bandara.

Rintik-rintik hujan dan kabut pun seakan berpartisipasi bersama kami melalui jendela mobil. Tapi pikiranku nun jauh di kampung halaman. Setengah jam dari kawasan Distrik Heram tak terasa.

“Mau kemana, ​Nana?” tanya seorang penumpang.

Nana adalah panggilan untuk laki-laki dan laki-laki Manggarai. Aku kemudian mengetahui namanya Om Vitalis. Aku mengenal dia dari raut wajah dan rambutnya sebagai orang Manggarai, bagian barat pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.

“Pulang kampung, Om,” jawabku.

“Kapal Binaya tanggal 29 Desember?” katanya.

“Tilong Kabila besok.”

Beberapa waktu terakhir Aku mengecek jadwal keberangkatan KM Tilong Kabila pada situs resmi PT Pelni. Tapi apes.

“Ah, tidak ada jadwal kapal besok,” jawab Om Vitalis.

“Yang penting sudah sampai di Makassar (Sulawesi Selatan) saja,” jawabku.

Perkiraanku, jika sampai di Makassar, apapun yang terjadi harus bisa pulang. Meski tiket pesawat sekalipun, melalui Denpasar, Bali ke Labuan Bajo.

Aku telah berkomitmen bahwa tahun ini harus pulang untuk merayakan Natal dan Tahun Baru dengan orang tua dan keluarga, setelah belasan tahun tidak merayakannya bersama mereka. Duduk bersama, membagi cerita, dan ini: minum kopi asli.

Minum kopi—seperti kebanyakan orang—bukan soal trend atau sejenisnya, tetapi lebih dari itu. Me-ngopi adalah adat, kebiasaan dan simbol kekeluargaan. Ini adalah cara hidup dan menghidupi kehidupan yang bermakna dan beradab.

Maka tak mengenal sebutan kopi hitam, kopi cokelat atau kopi putih. Bagi kami, kopi ya kopi. Warnanya hitam. Tak lebih dari itu.

Maknanya banyak, selain untuk menunjang perekonomian keluarga, mewariskan tradisi, dan memaknai kepahitan dan kemanisan hidup. Bahwa sepahit atau semanis apapun karya orang lain, itu patut disyukuri atau diapresiasi.

Kopi tak tiba begitu saja di meja atau tikar saat bersila. Prosesnya panjang. Tanam, tumbuh, rawat, berbunga dan berbuah. Buah dikeringkan, jemur, giling atau tumbuk.

Lalu bijinya dipanaskan dalam wadah. Kemudian ditumbuk dan diayak. Jadilah tepung berwarna hitam dan bercampur dengan air. Dimasak sampai mendidih. Sedikit gula dan diaduk-aduk.

Minum kopi adalah memaknai cara berada dan menghargai sebuah proses yang panjang dalam kehidupan sehari-hari.

Kopi, sebagaimana dituangkan dalam gelas berbentuk bulat menyimbolkan kesatuan dan persatuan dalam lingkaran kekeluargaan.

Sejak kecil, minuman ini memberi tahu kami ihwal sebuah proses pendewasaan diri dan kematangan pikiran. Warnanya yang hitam mengajarkan tentang keabadian.

Teori-teori dan penelitian tentang efek atau kafein pada kopi, entah apapun namanya, kami ketahui setelah berton-ton biji kopi masuk ke lambung, usus, lalu menjadi kotoran. Sampah pupuk.

Leluhur kami tidak pernah bercerita bahwa manusia meninggal karena minum kopi. Malah sebaliknya. Kopi itu simbol keluarga, sahabat, bersatu dan cara ber-ada.

Tak heran seniman Manggarai menulis lirik lagu mereka begini:

“​Maram dongkin hi Moni landing gorin putar kop​i.”

Artinya:

Biar Moni (si Moni—istri/calon istri) jelek, asalkan bisa buatkan kopi (yang enak).

“Labuan Bajo, Bang?” tanya pria setengah tua, di depan Hotel Agus Makassar, yang kemudian diketahui seorang calo.

Beberapa menit ia berbicara melalui ponsel, lelaki lainnya muncul dengan membawakan tiket.

Pada tiket yang Aku beli itu tertulis jelas. Pemesannya ditulis Timotius, penjualnya bernama Eko. Tiket-tiket itu dijual dengan harga mencekik leher.

Aku membeli tiket seharga Rp 500 ribu, dengan perincian Rp 400 ribu untuk tiket, dan Rp 100 ribu untuk kamar hotel.

Lebih mewah untuk disebut hotel atau losmen. Mungkin lebih tepatnya rumah kumuh.

Aku diarahkan melewati lorong kiri Hotel Agus, menuju ke jalan bagian belakang hotel ini, dan melalui persimpangan. Sekitar seratus meter jaraknya.

Padahal di tiket yang kubeli, mereka tulis Rp 176.500 tujuan Makassar-Labuan Bajo, sesuai harga PT Pelni. Keberangkatan pukul 12.00 dengan pemesan Timotius dan penjual Eko. Jelas terbaca “Tiket PELNI” pada bagian atas.

“Woii, langsung ke rumah,” kata Bona di ujung telepon seluler.

Bona sudah merantau sejak puluhan tahun lalu di Makassar. Dia punya banyak cerita lucu saat kami minum kopi di rumah kontrakannya, Selasa sore hingga malam, bersama istri, anak, dan saudara-saudaranya, sesama kampung.

Dia juga yang mencegahku untuk tidak minum saat kami ke Pantai Losari malam itu, hingga tengah malam. Mencegah lebih baik daripada Aku terkapar karena minuman.

Aku tidak mau pengalaman pahit Sabtu malam, 24 Desember 2017 di Waena, Distrik Heram, Kota Jayapura, terulang di sini.

Ketika itu, keluarga berdatangan untuk berjabat tangan dan berkumpul bersama hingga.

Minggu dini hari. Tapi Aku sudah mabuk sejak pukul 7 malam, Sabtu, usai mengikuti acara ulang tahun salah seorang teman.

Aku limbung. Mata picing melihat mereka berdatangan, makan, minum, cerita-cerita dan memberikan Aku sepeser uang untuk bekal.

Orang Manggarai punya tradisi seperti ini: berkumpul bersama saat saudara merantau atau pulang kampung, bahkan menikah.

Dari balik setengah mata terbuka dan berputar, Aku melihat saudara-saudaraku. Dengan jelas Aku melihat Kakak Nardi, Kakak Yos, Om Tarsi, Kakak Sipri, Penggol, Herinimus, Ancen, Paul, Om Nonce dan Om Along. Kawan-kawan lainnya datang keesokan harinya, Saudara Marsi, Korni, Wilibrodus, dan Nandus datang keesokan harinya.

Jadi, Aku tidak mau mabuk ini kembali menimpaku di Makassar. Apalagi perjalanan masih jauh.

Ketika turun dari Citilink Jayapura-Makassar, Selasa siang, 26 Desember 2017, udara Kota Makassar menyisakan keringat pada badan. Tambahan pula mengantre pada taksi bandara yang petugas pungut Rp 150 ribu per penumpang.

“Ah, itu Rp 100 ribu saja,” kata Om Karlos melalui pesan singkatnya, yang dua tahun lalu juga menggunakan jasa taksi bandara.

“Jayapura tinggal di mana, Bang?” Tanya seorang pria jangkung yang berjejalan di belakangku menuju Pelabuhan Makassar.

“Di Abe, Bang,” jawabku sambil menggotong barang bawaan yang beratnya kurang lebih tiga kilo.

“Bang, di Jayapura juga?”

“Iya, saya tinggal di Sentani,” jawabnya.

“Oh, di 751 ka?”

Tujuh lima satu maksudnya Raider/751 Sentani, Kabupaten Jayapura. Sebagai sesama saudara jauh, apalagi satu tempat perantauan, Aku bercerita tentang Papua. Tapi kutahan saja identitasku. Tapi dia kuketahui.

Dari ransel gendongannya, potongan rambut dan postur tubuhnya, segera kuketahui dia adalah anggota TNI meski ia mengenakan pakaian sipil.

Di sini, di kapal ini, kami bercerita sedikit tentang gambaran tanah kami. Tempat kami mencari makan-minum, belajar banyak hal, pendidikan empat tahun di kampus, dan memaknai kehidupan bersama kawan-kawan asli Papua; dari Raja Ampat sampai Merauke.

“Darimana, Bang?” Tanyaku.

“Bima, Bang.”

“O, begitu kah?”

“Tapi istriku orang Reo,” jawabnya.

Aku semakin sok kenal sok dekat. Karena faktor itu tadi. Maitua-nya orang Reo.

Reo adalah salah satu kecamatan di pesisir bagian utara Manggarai. Konon sewaktu zaman pemerintahan Kerajaan Goa-Talo, orang Manggarai bagian Reo itu dihuni banyak penduduk asal Kesultanan Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Sejarahnya panjang.

Menurut cerita orang-orang tua bahwa orang Manggarai zaman dulu menyerahkan upeti kepada Raja Goa melalui Kerajaan Bima, yang ketika itu mendominasi daerah Reo (Reok).

Orang Manggarai zaman ini, pada umumnya mengenal Reo sebagai daerah penghasil bawang. Maka Reo identik dengan bawang selain ceweknya yang cantik-cantik.

Terlepas dari itu semua, dalam catatan sejarah Kekristenan Manggarai, Reo merupakan tempat pertama misi Katolik.

Dalam “Nusa Tenggara. Setengah Abad Karya Misi SVD” (1966) yang dikutip Pastor Edi Kristiyanto OFM dalam bukunya “​Khresna Mencari Raga Mengenang Fransiskan diIndonesia” (2009: 240), gereja Katolik masuk di Manggarai pada 23 September 1920 (Kristiyanto: 237). Sedangkan dalam catatan Gereja Katedral Ruteng, awal karya misi antara tahun 1914-1920. Ada enam orang yang dibaptis (baptisan perdana) di Reo, 17 Mei 1912.

Dua tahun setelah itu, dilakukan pembaptisan warga di Pitak, Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai, pada 11 Desember 1914, oleh Mgr. Petrus Neijen, SVD. Dalam catatan laman Wikipedia disebutkan, pada periode 1910-1911, misionaris Yesuit, Pater Henrikus Looijmans SJ membaptis enam orang di Reo pada 17 Mei 1912.

Enam orang yang dibaptis menjadi Katolik pertama Manggarai itu adalah Katarina (Arbero), Henricus, Agnes Mina, Caecilia Weloe, dan Helena Loekoe. Jadi, gereja Katolik Manggarai berusia satu abad pada tahun 2012, yang berawal dari Reo. Dalam bukunya, P. Kristiyanto menulis, pengaruh Bugis-Makassar atas Manggarai berakhir dengan ditetapkannya traktat Bonggo 1669 (Kristiyanto: 2009, 240).

Masih tentang Reo. “Mau ke rumah maitua di Reo, Bang?” Tanyaku.

“Ah, bukan. Mau mudik ke Bima. Kemarin satu minggu dengan kapal,” jawabnya.

“Nana, kita jalan-jalan ke dek atas,” kata Om Vitalis, yang kukenal di Bandara Sentani hingga berpisah di Labuan Bajo.

Ia ke kampung karena ada keluarga yang sakit parah. Namun, hingga Aku pulang ke Jayapura melalui Denpasar, 10 Januari 2018, tidak ada kabar dari beliau.

“Baik Om, saya sekalian mau cuci mata,” jawabku bercanda.

Dia membenarkan jika cuci mata di kapal penumpang cocok bagi anak-anak muda. Di kapal jurusan Gorontalo-Makassar-Labuan Bajo-Lombok-Denpasar ini, biasanya banyak penumpang yang liburan.

Sebagai pusat Indonesia timur, dan salah satu kota metropolitan di Indonesia, Makassar adalah kota tujuan belajar anak-anak Manggarai selain Kupang, Malang, Yogyakarta, Denpasar, Surabaya, Jakarta dan Ende. Mereka biasanya studi di Universitas Hasanuddin dan beberapa universitas swasta kenamaan di Kota Daeng.

“Pasti banyak cewek yang lagi liburan ee. Hahah,” kata kawan Penggol dari Jayapura di ujung telepon.

“Sampaikan salam kami untuk keluarga di kampung,” kata Bona selepas Aku di pelabuhan.

“Baiklah ​ema koe (paman atau adik dari bapak). Akan saya sampaikan,” jawabku pada saudara beranak satu ini.

Dalam silsilah keturunan di kampung, kami masih satu klan. Satu darah. Maka Aku memanggilnya ema koe (bapak kecil/muda) walau kami sebaya.

Satu hari satu malam di kapal tak terasa. Orang-orang pulang berparas gembira. Tapi tak kukenal satu per satu.

Kapal mau sandar. Lampu-lampu dan kota Labuan Bajo masih samar-samar oleh kabut dan gerimis. Matahari pagi mulai meninggi, Kamis pagi, 28 Desember 2017. Semua penumpang sibuk menurunkan barang-barangnya.

Aku menyusuri kerumunan orang-orang. Menuju ke dek empat. Ingin kutatap tanah yang aromanya menyeruak ke hidung oleh angin laut yang kencang.

Pemuda seperempat abad membuntuti langkahku. Ia menggendong gitarnya. Siapakah Aku sehingga dikejarnya? Keluarga? Kawan? Atau buronan?

“Kae, saya dari tadi perhatikan lalu saya ikuti,” kata Tedoz, nama lelaki 25 tahunan asal Satar Mese, Manggarai selatan, yang juga bekerja di Jayapura.

“Aeh, saya juga cari ​Kraeng— gelar untuk raja atau orang terhormat orang Manggarai. Namun, kini maknanya kadang-kadang dipakai untuk memanggil kawan dengan sopan.”

Dia pintar main gitar. Maka ia beruntung karena perjalanannya ditemani gitar akustik, pada pelayaran satu hari satu malam Makassar-Labuan Bajo.

Sedangkan Aku bersama sebuah novel yang belum selesai kubaca sewaktu di Jayapura. Judulnya​ Mata Malam. Karya penulis Korea, Han Kang—yang sebelumnya menulis novel Vegetarian–novel pemberian Kakak Pipit di Jubi beberapa bulan lalu.

Aku membacanya di sela belaian angin laut, bersama kopi yang dipesan di bar kapal.

“Kaka, saya bisa pinjam novelnya?” Tanya seorang perempuan kemarin sore, yang kulupa namanya di kapal.

“Oh, tidak bisa dek. Kaka, belum selesai membacanya,” jawabku sekenanya.

“Kaka mahasiswa?”

“Kelihatan Aku mahasiswa, ya?”

“Tidak kok, cuma tanya saja,” jawabnya sambil berlalu dariku.

Ku Mendekat tapi dia tenggelam dalam lautan manusia, pada dek kapal. Aku pun tersenyum. Rupanya dia mahasiswi yang sedang liburan.

“Kae, kita nyanyi sudah. ​Samain gitar,” kata Tedoz.

“Baiklah. Lagu Papua dulu,” jawabku.

“Lagu apa boleh e?”

“Di Sana Pulauku ee…”

Crengggg…..

“​Di sana pulauku yang kupuja selalu. Tanah Papua pulau indah. Hutan dan lautmu yangmembisu selalu. Cenderawasih burung emas….”

Kami jeda. Lalu membakar rokok masing-masing. Orang-orang lalu lalang. Mungkin mereka mau gabung, tapi masih malu-malu.

Seorang lelaki muda bersama kekasihnya terheran melihat kami menyanyikan lagu, yang asing di telinganya. Sementara Tedoz mencari judul lagu lain untuk melanjutkan sesi ini. Sesi pulang kampung.

“Bagaimana, sudah dapat lagu apa?” Tanyaku sambil memperhatikan asap rokok dari mulutku yang disapu angin.

“Terserah ​Kae (kaka) saja,” jawab Tedoz.

“Lagu ​Kole Beo,” kataku.

Kole Beo dalam bahasa Manggarai artinya pulang kampung. Lagu ini dipopulerkan Doni Ambang dari Band Ambers atau Ambang Bersaudara–sebuah band anak muda Manggarai yang tinggal di Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai. Mereka hits pada masanya di tahun 2000-an.

Selain Ambers, Lalong Liba adalah band legenda Manggarai yang tak kalah akrab di telinga kami. Lagu-lagunya sarat pesan dan nasihat, serta menggambarkan realitas orang Manggarai.

Crengg!!! Creng!!!

Tedoz memainkan gitarnya. Kole Beo dimulai…

“​Danong Aku lako ledong tana dading. Pencang ende ema agu ase kae. Woko nuk latungtunu tapa d’ende momang ge. Ndurus wae lu’u retang tenang kole beo. Ende ho’o kole anakm e. Ema naka cama tite ga. Kamping ase ka’e ce’e beo… dst.”

Terjemahannya:

“Dulu saya jalan meninggalkan tanah kelahiran. Pisah dengan bapa-mama dan adik-kakak. Kalau teringat jagung bakar buatan mamaku. Berlinanglah air mata menangis pulang kampung. Mama ini anakmu pulang. Bapa sambutlah kita bersama-sama. Dengan adik-kakak (keluarga) di kampung ini… dst.”

Tanpa sadar mataku seperti kelilipan. Seorang perempuan dari arah seratus meter, sedang menatap lautan dan mencuri pandangan pada kami. Kami tak menghiraukan situasi. Orang-orang pada sibuk menurunkan barang-barangnya.

Di sini tak kulihat komodo, sebab habitat binatang purba ini ada di Pulau Komodo, Rinca dan Padar. Butuh dua sampai empat jam dengan perahu motor ke arah barat, tempat mana binatang purba ini ada.

Waktu menunjukkan pukul 09 waktu Labuan Bajo. Matahari agak malu-malu memanggang kulit sebab terhalang oleh kabut dan gerimis.

Para penumpang mulai antre menuruni anak tangga, yang sebentar-sebentar menabrak porter pelabuhan yang menyerbu kapal. Aku hanya terharu.

Antrean manusia tak kuhiraukan. Berat memikul barang bawaan. Yang pikirkan adalah Mama Regina dan Bapa Lodovitus dan bungsu Rati atau Rolin di rumah sederhana, bersama sanak keluarga besarku.

Aroma kopi dan tanah mulai kuendus. Udara pesisir kuhirup. Ku Jalan menuruni anak tangga kapal dengan bawaan yang berat. Ransel kecil dan karton titipan kawan-kawan.

“​Woi Pace!!” teriak seseorang dari kerumunan massa.

Belakangan kuketahui dia adalah Marselinus. Kami biasa memanggilnya Mance.

Mance adalah teman sekampung dan SD di Ketang, Lelak, Manggarai. Anak ketiga dari empat bersaudara ini ditinggal bapaknya, dan yatim sejak mereka masih kecil.

Beberapa hari terakhir baru kuketahui anak almarhum mantan Sekretaris Desa Ketang, Markus Hambut ini terbilang sukses di usia yang sangat muda. Setidaknya untuk ukuran anak muda di kampung kami.

Ia punya usaha kios dan giling kopi. Kini punya mobil angkutan travel Labuan – Ruteng.

“Nanti kita naik travel saja,” katanya sopan.

“Baiklah om. Saya memarkir dulu dan mengisap rokok sambil menanti penumpang lainnya,” jawabku.

“Usu…..!!”

Teriak seorang pemuda dengan setelan kaos oblong, dipadukan dengan celana pendek dan sandal jepit.

Dari perutnya yang bagai menggendong drumband, kutahu itu Nasu, kawan semasa mencari “pencerahan panggilan” di Seminari Labuan Bajo.

Kini Nasu adalah bos dan pengusaha jasa perjalanan, sejak masa kuliah di Denpasar.

Sewaktu di seminari, kawan ini dikenal vokal dan skeptis. Kami tak akan menemui kata “selesai” jika berdebat tentang banyak hal.

“Akhirnya kita ketemu lagi kawan,” kataku sambil meninju perutnya.

“Liburan atau menetap e?” Tanya Nasu.

“Nanti saya balik ke Papua lagi, Kawan,” jawabku.

“Ah, menetap sudah!” Katanya sambil menunjuk kacamata gelapku, yang label harganya lupa kuhilangkan.

“Hahahha…!!”

Kami pun tertawa selepas-selepasnya. Sekencang-kencangnya. Seakan berlomba dengan deru pesawat di langit kota pariwisata ini, dan didengar almamater, yang jaraknya sekitar satu kilo dari pelabuhan.

“Ayo, Om. Kita jalan!” ajak Mance.

“Baiklah. Kawan, kapan-kapan kita ketemu lagi,” kataku pada Nasu, yang berjanji akan bertemu lagi di Labuan Bajo.

Beberapa menit kemudian. Waktu berlalu secepat kilat.

“Sudah! Saya sudah pesan travel di sini,” kata seorang ibu pada suaminya.

Rupanya ibu dan suaminya itu terjadi miskomunikasi. Dia sudah memesan travel lain, sementaranya suaminya menghubungi Mance. Jadinya dua travel di depan mata.

Hatiku dag dig dug. Jangan sampai mereka berkelahi. Tapi beruntung…

Biarlah mereka ke travel lain. Istilah travel di Flores merujuk pada bis atau mobil jasa antar-jemput untuk mengangkut penumpang atau wisatawan.

Mance yang sopan ini menerima dengan ikhlas. Lalu kami melanjutkan perjalanan melintasi jalan trans-Flores.

Panasnya Labuan Bajo berhasil mengeluarkan keringat apek di tubuhku, setelah dua hari tidak mandi di kapal. Amis, amis. Sudahlah! Malas tahu.

Perjalanan empat jam melintasi gunung, bukit dan padang sabana kawasan Kempo-Lembor hingga kampungku di Lentang, Kecamatan Lelak, Manggarai tak terasa. Lelah tak tersisa.

Biasanya orang-orang dari jauh mabuk darat saat melintasi jalan trans-Flores, yang terjal dan berkelok-kelok.

Dahlan Iskan sewaktu menjabat Menteri BUMN ketika mengunjungi Flores menyebutnya: jalan “Kelok Seribu”, mengingat kontur jalan yang berlekak-lekuk, kelok-kelok, terjal dan tajam.

Namun, hamparan sawah, pohon kemiri, cengkih, mahoni, ampupu, nangka, dan pohon-pohon lainnya, serta kerbau dan sapi di tepi jalan mewarnai perjalanan ini. Sungguh terlalu jika mabuk.

Dari belakang kursiku terdengar obrolan ringan tapi berisi. Percakapannya seputar merantau, tradisi belis, anak muda, dan hal-hal lainnya.

Aku tak sepenuhnya mengikuti obrolan mereka. Tapi konsentrasi terarah. Diam-diam Aku menguping. Lalu senyum ditahan.

“Yah, kita yang merantau harus pulang itu berubah. Paling tidak harus sukses,” kata salah satu dari tiga orang ini.

Aku terdiam saat mendengar kalimat ini. Sebab parameternya banyak, dan tergantung kebutuhan. Jika uang, rumah mewah, istri idaman, dan pekerjaan, Aku belum memenuhi semua ini.

Maka pulang bagiku bukan untuk menunjukkan kesemua itu pada keluarga. Bukan! Lebih pada reuni, pertemuan dan perjumpaan, serta doa. Pulang pada haribaan tanah kelahiran, tempat mana tali pusar ditanam. Napak tilas di tana kuni agu kalo.

Di situ kadang Aku merasa bahwa hidup ini terlalu pedih ditikam kenyataan. Ditikam kenyataan, karena jika dihitung dengan waktu, perantauan setidaknya membawa satu dari yang mereka perbincangkan tadi. Tapi, begitulah lika-liku laki-laki yang tidak laku ini.

Sedangkan Mance terus menyetir mobilnya. Mengobrol dengan dua penumpang di sampingnya —ibu paruh baya yang sakit dan anak gadisnya. Melaju, menyusuri jalanan terjal, dan penuh tikungan tajam. Angin gunung tak absen meniup kencang melalui jendela mobil avanza ini.

Melalui jalan berliku seperti trans-Flores bagi para sopir Manggarai sudah biasa. Bahkan nyaris tidak ada catatan kecelakaan.

Sore beranjak datang. Pukul dua di kampung ini bagai pukul enam di Jayapura. Kabut menyelimuti kampung.

Di perempatan Ketang, orang-orang berkerumunan.

Deee, Papa Imo!!”

Tiba-tiba keponakanku, Elvi memanggilku. Aku nyaris tak mengenalinya, sebab beberapa tahun lalu mereka masih SD ketika Aku merantau. Kini mereka sudah SMA. Beberapa saat kemudian, Adi kakak sepupuku muncul dengan motornya dari arah gereja Ketang, Kecamatan Lelak.

“Kita lanjutkan ke rumah,” kata bapak tiga anak ini mengajakku ke rumah, yang jaraknya sekitar 500 meter dari Ketang.

Rumahku di Kampung Lentang kosong. Semua keluarga berkumpul di Ketang. Ternyata saudara sepupuku, Yulti, hari ini menikah. Suaminya dari daerah Orong, Kedaluan Welak (kini kecamatan Welak), Kabupaten Manggarai Barat.

Satu per satu keluarga datang. Aku pun menuju ke Ketang, di rumah Bapa Tua Largus Hambut, bapa dari ​enu (panggilan untuk perempuan dlm bahasa Manggarai) Yulti tadi, bersama saudara sepupuku, Fr. Iwantinus.

Bukan main banyaknya keluarga besar kami. Aku menyalami satu per satu. Dari depan rumah hingga dapur.

Tawa membahana memenuhi rumah. Tawa haru di rumah penuh suka. Lentang, anakmu pulang. Begitu Aku membatin.

Malam menjemput sore yang diliputi kabut. Dinginnya menembus kain ​songke (kain tenun asli Manggarai) dan jaket merah yang kukenakan. Sedangkan rambut rimbun tak mampu menahan tusukan angin diubun-ubun.

“Bagaimana kalau kita minum sopi?” ajak Ferdinanduz, saudara sepupuku yang belasan tahun merantau di Surabaya, Jawa Timur.

“Boleh. Kita usir dingin,” jawabku diamini Fr. Iwan dan Arsi, dua sepupuku.

Lalu datanglah sopi di tengah malam sunyi berbintang. Ya, sopi.

Sopi adalah minuman tradisional yang dihasilkan dari pohon enau atau nira (bahasa Manggarai: ​raping), yang diwariskan orang-orang tua di Manggarai sejak bertahun-tahun lamanya. Ia dihasilkan secara tradisional, dengan ritual khusus dan khas. Air asli nira atau aren ini kami sebut “tuak raja atau tuak ​bakok” (bakok=putih).

Di daerah lain di Flores, minuman jenis ini namanya moke. Kami menyebutnya sopi dari hasil suling, dan tuak raja dari tempaan pohon enau.

Entah kenapa disebut tuak raja. Mungkin pada zaman kerajaan dulu minuman ini hanya dikhususkan untuk raja-raja Manggarai. Entahlah.

Berbicara tentang sopi, tuak raja, dan pohon enau, punya filosofi tersendiri bagi orang

Manggarai. Ada ungkapan (go’et​) dalam bahasa Manggarai:

“​Kimpur neho kiwung cama kiwung lopo, cimang neho rimang cama rimang rana(Semoga tebal dan keras seperti pohon enau yang tua, tajam dan keras seperti lidi ijuk yang baru).”

Ungkapan ini biasanya untuk memohon atau mengharapkan kesehatan, kekuatan, ketangkasan, keras dan tahan banting.

Sopi dan tuak raja merupakan minuman warisan leluhur dan digunakan dalam tradisi kami. Tidak ada minuman ini, tentu tidak meriah sebuah pesta adat, sehingga harus disiapkan bertong-tong, berjeriken-jeriken dan be-rudang-rudang atau ​ber-gogong-gogong(​rudangatau gogong: wadah terbuat dari bambu untuk menyimpan air bagi orang Manggarai zaman dulu).

Minuman ini juga biasanya dipakai untuk menyambut tamu. Tamu disambut bersama tuak dan ayam jantan putih. Itu simbol kehangatan dan ketulusan. Bahwa tamu bukan orang lain lagi, tetapi bagian dari satu keluarga; keluarga Manggarai–yang disimbolkan dengan tuak dan ayam putih.

Ayam putih simbol pengorbanan yang tulus, ikhlas dan suci. Ayam putih juga kerap dijadikan hewan persembahan untuk leluhur.

Tuak raja juga sangat membantu orang Manggarai. Tuak yang dimasak menjadi gula aren.

Kami menyebutnya “gola malang”, yang banyak khasiatnya.

Mama pernah bercerita, orang-orang dari kampung mama, di daerah ​Hamentee—wilayah setingkat distrik atau kecamatan. Zaman dulu Manggarai terdiri dari 38 hamentee—Kolang (Kecamatan Kuwus, Kabupaten Manggarai Barat), sejak zaman dulu, mereka menjual gula malang ini untuk membiayai sekolah dan hal lainnya. Jadi, dari raping, tuak, hingga jadi gula sangat membantu.

Lalu pohon enau bersama lidi dan ijuknya. Sejak zaman dulu, nenek moyang orang Manggarai menggunakan ijuk untuk atap pondok di kebun dan rumah. Ijuk dipakai menjadi atap rumah dan rumah adat.

Rumah adat (mbaru gendang atau mbaru tembong) berbentuk kerucut, yang kini ada di Wae Rebo, selatan Manggarai, mengantar ke dunia melalui UNESCO dan diakui serta mendapat penghargaan UNESCO tahun 2012.

“Kita semua ke rumah. Keponakan sakit parah,” kata Kakak Adi, yang muncul di tengah malam yang hanya terdengar lolongan anjing, dengan nafas yang cepat.

“Baiklah. Kita setopkan dulu minum. Ke rumah lihat ponakan ini,” sambung Fr. Iwantinus.

Kami menuju rumah hingga pagi hari. Udara di kampung kami, dengan ketinggian 1.100 mdpl tentu tidak sepanas Jayapura, Makassar, Labuan Bajo atau Denpasar.

“Kakak Imo, mandi sudah. Saya masak air,” kata Martha, adik bungsuku disertai suara Mama dan Bapa dari dapur.

“Nanti sudah,” jawabku menahan gigil dan mengisap kepulan asap rokok.

Adik bungsu ini pandai merayu. Apalagi jika dengan kakaknya si Timo yang sulung ini. Martha periang. Bahasa Inggrisnya lumayan bagus untuk anak kampung dan orang tua petani, yang belajar di Sekolah Menengah Ilmu Pariwisata (SMIP) Sadar Wisata Ruteng. Setidaknya diketahui dari cerita kawan-kawannya. Begitu juga ketika Aku mengetesnya dengan bahasa Inggris pasar suatu ketika.

Dia juga bisa mengobrol bahasa Inggris dengan kakak ketiganya si Rolin, yang lulus dari salah satu perguruan tinggi di Surabaya, Jawa Timur. Sedangkan Saveriana kakak keempatnya, yang masih kuliah pada Fakultas Ekonomi di Surabaya tak bisa sama sekali.

Tahun berlalu dan musim segera berganti. Momen dan kejadian datang dan pergi. Januari 2018 di depan mata. Perputaran waktu terlalu cepat.

“Nana, cari istri sudah,” ajak kakak sepupuku, Fidelis, dengan nada bercanda tapi serius, suatu kesempatan, awal Januari 2018.

Bapak tiga anak ini dikenal bijaksana dan detail. Ide atau gagasannya selalu cemerlang, dan diterima semua kalangan dalam keluarga besar kami.

Ia punya usaha mebel di kampung setelah berpengalaman menjadi tukang kayu, untuk bangunan rumah turis di Labuan Bajo.

“​Adoo Kae,gampang-gampang susah ini barang. Hehe..,” jawabku pada anak kedua dari lima bersaudara ini.

“Iyo, jangan takut ​belis (mas kawin) Zaman sekarang kita jangan takut pada belis. Asal kita baik-baik, perilaku baik dan santun pada ​anak rona (keluarga pihak perempuan),” jawab Kakak Fidelis ditambahkan Bapa Tua Linus, Kakak Hermanus dan Bapakku, Lodovitus.

Sambil minum kopi dan makan jagung, suasana siang hingga senja ini renyah. Serenyah dan seenak jagung rebus dan kopi buatan Mama.

“Nana, pikir saja: kenapa yang lain bisa?” Kata Bapa Tua Linus dan Kakak Hermanus.

Kulihat Bapa Vitus terdiam. Sesekali meneguk kopi. Ia menunduk dan melipat tangannya.

Cara duduknya mulai tegak lurus.

Dari telingaku terdengar bunyi kerongkongannya yang meneguk kopi. Wajahnya yang mulai menampakkan garis keriput jelas terbaca, bahwa hal ini bukan hanya tanggung jawab anak sulungnya. Tapi urusan keluarga. Apakah dengan itu ia belum berhasil mendidik anak-anaknya? Tentu tidak sesimpel itu.

Siang dan malam silih berganti. Kabut khas kampung di dataran tinggi muncul lagi. Telepon selulerku bergetar. Alarm ponsel memanggil kembali, untuk mengabdi pada kebenaran, pada masyarakat. Tak lama lagi waktu cuti selesai. Aku menghubungi Kakak Viktor, pimpinan umum kami agar Aku kembali pada 10 Januari 2018 melalui Denpasar.

Ups… tiket di tangan, GA 7027 Labuan Bajo-Denpasar dilanjutkan GA 652 Denpasar-Jayapura, dini hari di 11 Januari 2018.

“Adik, siap jemput Kaka,” kataku di ujung telepon pada Saudara Soni, yang bekerja di Bali sejak 2009.

Mama Regina, Bapa Lodovitus, Kakak Herman dan istrinya Doni pagi ini mengantarku hingga Wae Lelang, jalan trans-Flores. Tatapan mata tertuju pada perjalanan kaki sejauh kira-kira 500 meter.

“Tujuan mana?” Tanya seorang perempuan di ruangan check in Bandara Komodo. “Jayapura.”

“Di dalam karton ini apa?”

“Kopi.”

“Bukan ikan, to?”

Dugaanku adalah ikan yang dimaksud adalah ikan cara. Ikan ini bentuknya pipih. Biasa dibikin ikan asin menjadi lauk andalan. Baunya amis, tapi rasanya enak dan super enak. Tulangnya tajam dan sering nyangkut di kerongkongan kalau tidak hati-hati. Selama mengembara di Pulau Jawa, Bali, Sulawesi, dan Tanah Papua, Aku belum menemukan ikan sejenis ini. Praktis hanya di Manggarai, Flores saja, seperti Reo, Terang (Berit), dan Labuan Bajo.

“Silakan buka dan rapikan lagi,” jawabku dengan nada meninggi.

Lalu Aku menuju ruangan tunggu di lantai dua. Dari kira-kira 100 penumpang, hampir pasti 90 orangnya adalah turis. Ini dimaklumi mengingat Labuan Bajo kini menjadi tren tujuan liburan wisatawan, baik domestik maupun mancanegara.

Bali menanti. Denpasar aku menatap nanar. Sore yang berawan.

“Selamat datang di Bali Kakak,” kata Soni, Nardi dan Rio–tiga saudaraku dari kampung.

Setelah magrib menjelang keberangkatan sebentar malam, kawan lamaku Xavri bersama anak-istrinya menyusul ke kawasan Sesetan, Denpasar. Ditambah Om Adrian dan Saudara Ovis. Kami meneguk bir persaudaraan.

Itulah catatan tentang pulang dari negeri seberang: dari Jayapura, menapak lebih jauh. Jika uang, rumah mewah, istri idaman, dan “pekerjaan”, Aku belum memenuhi semua ini, seperti dalam obrolan travel. Belum cukup untuk diharapkan. Asal kesehatanku tetap terjaga, terus diberi napas oleh Sang Khalik dan bekerja siang-malam.

Pulang bagiku, bukan untuk menunjukkan ke semua itu, bukan untuk pamer-pameran, atau trend “perjalanan”. Bukan! Lebih pada reuni, pertemuan dan perjumpaan. Pulang karena rindu setengah mati. Pulang adalah kembara tak bertepi. Belum berujung. Entah sampai nanti.

Sabda Sang Guru, Yesus Kristus boleh kupinjam: saat-Ku belum tiba. Aku juga teringat ungkapan leluhurku: calajari tai, cala di’a diang(semoga suatu hari nanti berkat itu ada sebagai upah daya usaha). Atau misionaris pertama di Tanah Papua yang berpesan: ​barangsiapa bekerja jujur di tanah ini, akan menemukan tanda heran.

Hingga tulisan sederhana ini selesai, Kamis siang, 16 Maret 2018, kabar baru datang dari Maumere, Flores, di ujung telepon.

Kae, Bapa sakit sekarat. Mau dirujuk ke Rumah Sakit St. Rafael Cancar,” kata Adik Fr. Iwan.

Aku kaget setengah mati. Lagi-lagi, hati ditikam kenyataan yang tidak berpihak. Tapi begitulah hidup. Penuh misteri. Pertanyaanku terus terasuk. Pikiran nun jauh di sana, pada Bapa Tua Dominikus Jelahu, 73 tahun.

Bapak dengan delapan orang anak ini adalah anak sulung dari lima bersaudara. Kami memanggilnya ​Ema (Bapak) Momi. Bapa Domi, Alm. Bibi Antonia Amus, Bapa Barnabas Banggus, Bibi Fatima Mamun, dan Bapa Lodovitus Sagut—bapakku—adalah anak bungsu.

Kabar per telepon datang dari Kakak Fransiskus Sales Nangkur di Surabaya. Fransiskus anak keempat dari delapan bersaudara.

“Bapa sudah sekarat ee. Mau dirujuk ke RS Siloam Labuan Bajo,” kata Bapa Laura, panggilan Kakak Fransiskus, Jumat siang, 16 Maret 2018.

Lalu Aku mengecek ke kampung. “Kae bagaimana keadaan Ema Tua?” tanyaku diiringi isak tangis pada Kaka Adi.

“Ini siapa. HP-ku rusak?”

“Ini Timo.”

https://youtube.com/watch?v=bqIYM0eLKEs%3Ffeature%3Dplayer_embedded

“Bapa sekarat. Gagal ginjal. Kami mau bawa dia pulang ke kampung,” jawabnya, lalu telepon ditutup.

AKU MASIH MENGETIK, membaca, dan mengedit sebuah tulisan pada layar komputer, 21 Maret 2018, pukul 3 lebih tiga puluh menit. Sebagaimana biasanya, saban hari, itulah rutinitasku, hingga tak memperhatikan tubuh ranum ini. Urakan, dan….

“Bapa Domi meninggal,” kata Kakak Sepupuku, Leonardus di ujung telepon.

Aku kaget setengah mati. Hati luluh lantak berantakan. Mau protes pada kenyataan. Aku lalu menghubungi keluarga melalui ponsel.

“​Keti celi,” kata Adik Sepupuku, Tarsisius.

Dalam bahasa Manggarai ​keti celiartinya pembuluh darah terputus. Ada juga ungkapan lain: weong nai.Ungkapan ini menggambarkan kekecewaan dan rasa kehilangan yang mendalam.

“​Nia nene daku ge?” Ungkap ponakanku, Dedoz, dari Surabaya, Jawa Timur.

Adik kandungku Marselina menangis histeris di ujung telepon. Ia tak sudi melepaskan Bapak sulung, yang sudah lama tak dijumpainya.

“Saya sudah tidak ketemu dia empat tahun,” kata Marselina diiringi isak tangis.

Aku juga tak memperhatikan mataku yang sembab. Menangis adalah bahasa yang sederhana untuk mengekspresikan kenyataan. Kenyataan yang hilang.

“Papa Imo, kalian sudah tahu?” Kata Kakak Adi di ujung telepon, sore menjelang malam.

“Kaka, saya sudah dapat kabar tadi,” jawabku dengan suara yang perlahan menghilang.

“​Bapa Kami berdelapan, mama, cucu-cucumu, dan keluarga tak mampu membalas semuajasa-jasa dan pengorbananmu. Kami hanya mampu mengucapkan “terima kasih” atas teladan hidup yang engkau tunjukkan bagi kami. Doa kami mengiringi langkahmu menuju rumah Bapa di Surga. Doakanlah kami semua yang masih berziarah di dunia ini. Sekali lagi “terima kasih” bapa

Salam hormat dan selamat jalan

Beristirahatlah dalam damai Tuhan.”

Tulis adik sepupuku, Fr. Iwantinus pada laman facebook-nya. Frater Iwan adalah anak ketujuh dari delapan anak Bapa Domi.

Ia masih mengenyam pendidikan dan menjalani panggilan menjadi imam Serikat Sabda Allah, di Seminari Tinggi Santu Paulus Ledalero, Maumere, Flores.

Bapa Tua Dominikus Jelahu meninggal dalam usia lebih dari 75 tahun. Ia meninggalkan delapan anak, cucu dan cicit, lantaran penyakit yang dideritanya. Katanya gagal ginjal. Padahal Desember 2017 sampai Januari 2018, ia masih sehat meski sering terbaring lemah.

Almarhum adalah anak sulung dari lima bersaudara dan bapakku anak bungsu. Usianya memang sudah uzur. Tapi sebenarnya masih terlalu cepat untuk pergi.

Oe bukan 73 tahun, yang pasti di atas 75 tahun,” kata Enu Flora, saudara sepupuku melalui pesan singkat.

Usianya memang jadi perdebatan, sebab almarhum lahir sebelum Indonesia merdeka, tahun 1945.

Lumrah di kampung, bahwa orang-orang tua lupa atau tidak tahu tanggal dan tahun kelahirannya. Begitu pula dengan almarhum. Jadi, tahun kelahirannya diperdebatkan. Tapi yang pasti ia meninggal di usia lebih dari 75 tahun.

“​Nana, kirim koe obat emam​,” katanya suatu waktu di ujung telepon saat masih bugar.

Aku terdiam. Kami sudah besar, sudah bisa cari makan, tapi belum bisa membalas jasa beliau. Belum bisa memperhitungkan jarak antara langit dan bumi.

Aku belum memberikan apa-apa kepada Bapa Tua ini. Belum bisa memberikan apa yang menjadi permintaannya. Obat.

Obat, bermakna lebih dalam dari sekadar sebuah pil, atau ramuan penyembuh rasa sakit.

Masih segar dalam ingatanku, saat matahari meninggi setelah pagi, 10 Januari 2018, sewaktu Aku berpamitan ke Papua. Kupeluk dia erat-erat. Dia yang lemah dan rapuh karena uzur ku rangkul erat dan hangat. Tak kusangka itu adalah pelukan terakhir, perpisahan, dan untuk selama-lamanya. Ah, Tuhan.

Kami ‘kan mengenangmu bapa yang bijaksana, mengayomi dan rajin dan lemah lembut. Bapa yang waktu kecil menggendong, menuntun, dan mengajak kami ke kebun, hingga bagaimana menggembalakan kerbau dan kuda. Setelah lebih dari tujuh puluh lima tahun berziarah di dunia, kini ia menghadap Sang Khalik.

“Saya sedih. Tapi dia pergi setelah semua anaknya berhasil dan mandiri. Saya jadi ingat Lapa Itus,” kata adik Marselina, yang membuat Aku diam selama lima menit, lalu telepon seluler padam.

Mungkin saja saat-saat terakhirnya ia mencari kami yang hilang, tapi kami nun jauh di perantauan. Hanya doa dan harapan yang kami punya.

“​Eli, Eli, lama sabakhtani. Allah-Ku, Ya Allah-Ku mengapa Engkau meninggalkan Aku?”

Demikian jeritan Yesus saat menghadapi sakrat maut di salib.

Bapa, engkau kan berjumpa Yesus Kristus yang sengsara dan wafat-Nya kami kenang saat masa prapaskah. Requescat In Pace (RIP), Bapa Tua. Semoga beristirahat dalam damai. Doa kami bersamamu.

Dia telah pergi tapi kami masih mengembara. Mengembara sampai yang entah. Bila kami kembali, sekiranya hutan masih rimba, bukit dan pepohonan tetap kokoh. [*]

#Jayapura, Maret 18

Dapatkan update berita Kalawaibumiofi.com dengan bergabung di Telegram. Caranya muda, Anda harus menginstall aplikasi Telegram terlebih dulu di Android/Ponsel lalu klik https://t.me/wartabumiofinabirepapuatengah lalu join. Atau dapatkan juga di medsos (Facebook, Twitter, Instagram, Youtube, Tiktok) dengan nama akun Warta Bumiofi.

Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!