Saya perhatikan saat ini sepertinya dumay, khususnya pesbuk (karena saya tidak aktif di medsos lain) lagi ramai dan hiruk-pikuk membicarakan: (1) “ustadah tipi” siapa itu namanya yang salah menulis ayat-ayat Al-Qur’an dan menjelaskan sejumlah ajaran keislaman yang tidak akurat (sampai temanku Gus Nadir angkat bicara) dan (2) Danny Siregar & Ustad Abu Janda (bukan nama sebenarnya) setelah penampilan mereka yang dianggap “kurang prima” di acara ILC. Saya sendiri, kalau pas di Indonesia dulu, suka nonton ILC tapi yang kumpulan para pelawak yang ada Komeng dan Cak Lontong-nya itu. Sekilas dari berbagai komen saya perhatikan banyak orang yang “tidak tahu diri” dan “tidak fair” karena menuntut “kedigdayaan” orang di berbagai sektor.
Maksudku begini: Menjadi penceramah juga tidak mudah. Tentu saja penceramah yang baik bukan penceramah yang emosian melotot-melotot kayak Togok dan asal njeplak kayak kaleng rombeng.
Kalau menjadi pencela itu baru gampang. Tidak perlu sekolah dan latihan.
Baik penulis maupun penceramah yang baik masing-masing membutuhkan ilmu, wawasan, keahlian, pengalaman, dan latihan sendiri-sendiri yang cukup, mendalam, dan intensif. Tidak bisa instan, bim salabim.
Itulah sebabnya kenapa tidak banyak orang yang bisa menulis dengan baik ataupun berceramah dengan baik. Kalau jamaah pencela itu banyak sekali. Lebih dari semonas lah kalau dikumpulkan he he.
Lebih tidak banyak lagi orang yang bisa menulis dengan baik sekaligus mampu berceramah dengan baik. Penulis hebat dan sekaligus penceramah ulung itu sedikit sekali. Yang terakhir ini masuk kategori “mahluk langka” yang perlu dilindungi dari kepunahan.
Karena masing-masing, baik penulis maupun penceramah, membutuhkan skill, pengalaman dan latihan yang berbeda, maka wajar kalau susah sekali menjadi penulis handal dan penceramah top sekaligus.
Itulah sebabnya kenapa ada penulis bagus tapi tidak bisa ceramah atau orasi di depan publik atau TV. Sebaliknya, ada penceramah bagus tapi tidak bisa menulis buku, artikel jurnal atau bahkan kolom pendek di media. Itu wajar sekali. Kita tidak perlu mengolok-olok penulis yang tidak bisa ceramah ataupun penceramah yang tidak bisa menulis.
Biasanya dosen-dosen atau ilmuwan masuk kategori “penulis yang tidak bisa ceramah”. Mereka kalau menulis muluk-muluk tapi kalau ceramah “malik-malik” he he. Memang banyak ilmuwan / intelektual hebat tapi kalau ngomong di publik bikin ngantuk karena terlalu datar (typical ilmuwan), tidak tas-tes.
Juga ada orang-orang hebat yang tidak bisa ceramah di publik. Contohnya alm. Nelson Mandela atau Madiba. Beliau kalau ngomong di publik klelar-kleler seperti Pak Moerdiono dulu, sangat tidak menarik sama sekali. Sangat kontras dengan Martin Luther King, Jr, Malcolm X, Barack Obama, atau Bung Karno yang menggelegar kalau pidato.
Danny Siregar itu saya perhatikan juga penulis baik dan produktif, khususnya jenis-jenis tulisan populer bukan yang akademik-ilmiah. Anda yang mungkin mencelanya belum tentu mampu menulis seperti dirinya.
Kalau para kiai rata-rata adalah penceramah ulung tapi bukan penulis ulung. Rata-rata para kiai tidak bisa menulis dalam bentuk buku maupun artikel pendek, meskipun ilmu dan wawasan keislaman mereka luar biasa dalamnya. Sedikit sekali (mungkin bisa dihitung dengan jari) kiai yang lihai dalam ceramah dan mahir dalam menulis. Di antara yang sedikit itu adalah almarhum Gus Dur dan juga Pak Mahfud MD atau Gus Mus.
Bukan hanya kiai, para dai juga rata-rata begitu: pinter ceramah tapi nggak bisa nulis. Apakah kita harus mencela penceramah hanya karena nggak bisa menulis atau mencela para penulis hanya karena tidak bisa ceramah? Buat apa mencela mereka karena masing-masing memiliki dunianya sendiri.
Apakah kita harus mencaci-maki burung hanya karena mereka tidak bisa menyelam seperti ikan atau sebaliknya mencela ikan hanya karena mereka tidak bisa terbang seperti burung? (Burung beneran lo ya bukan “burung konyol” favorit emak-emak he he).
Jabal Dhahran, Jazirah Arabia
Oleh: Prof.Dr. Sumanto Al Qurtuby
Menjadi penulis itu tidak gampang. Tentu saja penulis yang baik dengan data yang memadai, metodologi yang mapan, argumen yang rasional, penulisan yang terstruktur sistematis, uraian yang bisa dipahami publik, dan seterusnya. Kalau menjadi penulis asal, tentu saja mudah.
Penulis, Penceramah dan Pencelah
×
Penulis, Penceramah dan Pencelah
Sebarkan artikel ini