Artikel

Setengah jam bersama Lahyanto, sebelum wawancara tinju dulu

63
Lahyanto Nadie (duduk di kursi, keempat dari kanan) - Dokpri/Taufan Yusuf

Sebelum wawancara dia harus bertinju dulu. Siapa yang kalah? Dia yang kalah harus bersedia diwawancarai.

Demikian Lahyanto Nadie mengawali wawancara dengan media ini Kamis sore, 21 Oktober 2021. Dia adalah salah seorang penguji dari LPDS pada Uji Kompetensi Wartawan Papua Barat, 21-22 Oktober 2021.

Sebenarnya jurnalis yang malang melintang sejak tahun 1992 ini masih sibuk. Namun dirinya mempersilakan saya mewawancarainya sekira 30 menit di pojok ruangan UKW, di Sorong, Papua Barat. 


Di depan mejanya terdapat ceceran kertas kuning berlogo LPDS dan Dewan Pers, balpen, kotak pena dan vas bunga, sedangkan beberapa wartawan satu per satu meninggalkannya. 


Pria berkaca mata ini bekerja sebagai jurnalis di Bisnis Indonesia Group. Dia merupakan wartawan konvergensi sejak tahun 1993. Tahun 1992 dia menjadi penyiar. Setahun berikutnya menjadi penyiar radio, setelah menjadi wartawan media cetak sejak tahun 1985. 


“Ketika itu belum ada konvergensi media saya sudah mengalaminya,” kata Lahyanto. 


Dia bercerita, pengalaman menarik lainnya sebagai wartawan adalah meliput di luar negeri. Bahkan dia pernah mewawancarai Presiden Argentina, Carlos Menem.

“Sebelum wawancara dia ajak saya tinju. Kalau gak bisa gak boleh kita wawancara. Ternyata dia petinju,” katanya mengenang.


Akhirnya bapak dua anak ini pun berhasil mewawancarai Presiden Carlos. Tak hanya itu, Lahyanto pun diajak bermain tenis ketika mewawancarai tokoh-tokoh penting. 

Baginya, interaksi dengan narasumber merupakan salah satu modal penting dalam wawancara berita. “Itulah pentingnya kita berinteraksi. Dengan para narasumber. Presiden sekalipun,” katanya mengenang wawancara dengan Wakil Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, tahun 1994.


Dalam menulis berita, sebenarnya banyak ide menarik untuk ditulis, seperti ketokohan, dampaknya bagi masyarakat, penting, dan kedekatan, ditambah nilai horor.


Nadie pernah terjebak dalam ketakutan tahun 1992 di New York. Kota yang tidak pernah mati ini mendadak sepi karena konflik horizontal. Sentimen anti Asia dari orang-orang Amerika ketika itu merebak hingga dia pun terjebak dalam ketakutan. 

“Saya pernah naik kereta api ke penginapan. Sektar 30 km ke penginpaan. Itu kota sepi sekali. Saya tidak bawa senjata, dikawal office boy. Akhirnya dengan ketakutan saya sampai ke tempat tinggal saya,” katanya mengenang. 

Ketakutan kedua adalah ketika Nadie meliput di Meksiko. Di negara yang dikenal dengan kartel narkoba ini terjadi baku tembak. Dia terjebak lagi. Namun akhirnya selamat. 


Namun bagi Nadie, kesemua itu menjadi pengalaman mengasyikkan saat menjadi jurnalis. Mulai dari pengalaman meliput konser, perang, ancaman militerisme Orde Baru, dan konflik lainnya turut menempa mentalnya sebagai jurnalis senior, hingga pensiun dini empat tahun lalu dari Bisnis Media Group


“Aspek-aspek itu penting. Bahwa dalam liputan semua yang kita alami menjadi pengalaman yang menarik,” ujarnya.


Mewawancari tokoh-tokoh penting dunia tentu bukan perkara mudah. Namun tidak demikian bagi bapak dua anak yang sudah menulis 20 buku ini. Pertama medianya memang keren. 


“Kalau media biasa-biasa saja mungkin tidak bisa wawancara presiden. Semua presiden sudah diwawancara keculai Soekarno. Kedua, kemampuan dan pengetahuan. Kalau wawancara presiden harus tahu semua, politik, keamanan, sosial, dan lain-lain,” katanya. 


Baginya menjadi wartawan adalah jiwa. Dirinya tertarik menjadi wartawan karena awalnya bekerja di percetakan dan sering berinteraksi dengan wartawan. 


“Saya menulis berita-berita selain gaji sebagai karyawan. Saya sebagai stringer. Ternyata mengasyikkan,” katanya. 


Dia pun berpesan agar para wartawan menulis berita yang baik. Kalau berita kita berkualitas, maka berita kita akan dibaca banyak orang. Selain itu, katanya, wartawan harus mempunyai kemampuan konvergensi atau multitasking.(*)

error: Content is protected !!
Exit mobile version