“Presiden Republik Indonesia segera batalkan kebijakan DOB Papua yang telah menimbulkan Pro Kontra dalam Masyarakat Papua demi meredam konflik sosial sesuai perintah Pasal 6 huruf c, UU Nomor 7 Tahun 2012”
Nabire, Bumiofinavandu – Solidaritas Organisasi Sipil Untuk Tanah Papua menilai, rencana Daerah Otonomi Baru (DOB) Papua berpotensi ciptakan konflik sosial di Papua. Solidaritas meminta Presiden segera membatalkan rencana pemekaran.
Gabungan SOS tersebut terdiri dari, Lembaga Bantuan Hukum Papua (LBH Papua), JERAT Papua, KPKC Sinode GKI di Tanah Papua, YALI Papua, PAHAM Papua, UKM Demokrasi HAM dan Lingkungan Uncen, AMAN Sorong, WALHI Papua, Teraju Foundation serta Yayasan Pusaka Bentala Rakyat.
Menurut SOS Untuk Papua, secara yuridis konflik sosial bersumber dari; Secara yuridis konflik sosial bersumber dari;
a. Permasalahan yang berkaitan dengan politik, ekonomi, dan sosial budaya;
b. Perseteruan antarumat beragama dan/atau interumat beragama, antarsuku, dan antaretnis;
c. Sengketa batas wilayah desa, kabupaten/kota, dan/atau provinsi;
d. Sengketa sumber daya alam antarmasyarakat dan/atau antarmasyarakat dengan pelaku usaha; atau
e. Distribusi sumber daya alam yang tidak seimbang dalam masyarakat sebagaimana diatur pada Pasal 5, UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.
“Dengan melihat sikap Pemerintah Pusat yang mewacanakan kebijakan DOB Papua, dan selanjutnya Pansus DPR RI mengunakan hak inisiatif mengusulkan kebijakan DOB Papua, telah melahirkan jurang lebar ditengah-tengah masyarakat Papua menjadi dua kelompok. Yakni kelompok yang menolak DOB Papua dan kelompok yang menerima DOB Papua,”
Dalam siaran persnya diterima Bumiofinavandu, Selasa (28/06/2022), SOS mendorong pandangan masyarakat Papua dari kedua kelompok diatas, menurut SOS, perlu dilakukan melalui cara-cara dan kebebasan berdemokrasi. Yang dijamin dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang “Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum dan juga melakukan lobby-lobby politik hingga menggugat ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia”.
Sebab sesuai telah ditemukan dalam perjuangan isu pro maupun kontra DOB, telah menuai beberapa fakta pelanggaran HAM seperti; pelanggaran Hak Berdemostrasi, bebas dari segala bentuk tindakan kekerasan dan bahkan ada hak hidup yang terlanggar. Sekalipun faktanya demikian, Pemerintah Pusat terus merumuskan kebijakan DOB dengan dasar ada dukungan dari beberapa elit politik Papua.
“Namun sikap Pemerintah Pusat terus mendorong kebijakan DOB tanpa melihat perpecahan dalam masyarakat serta melihat fakta pelanggaran hukum dan HAM, yang dialami oleh masyarakat Papua. Dikhawatirkan akan memicu konflik sosial antara kelompok yang menerima maupun menolak kebijakan DOB. Sebab sesuai dengan penegasan penyebab konflik sosial di atas salah satunya adalah permasalahan yang berkaitan dengan politik, ekonomi, dan sosial budaya serta sengketa batas wilayah Desa, Kabupaten/Kota, wilayah adat serta Provinsi.
Konflik Sosial Mulai Terlihat
Potensi konflik sosial mulai terlihat melalui adanya gelombang aksi demonstrasi yang terus dilakukan oleh masyarakat Papua, yang menolak kebijakan DOB sebagaimana dalam beberapa aksi damai yang digelar pada 3 Juni 2022 di beberapa Kota besar di Tanah Papua. Disisi lain, terlihat adanya beberapa kegiatan yang juga dilakukan oleh kelompok yang menerima DOB dengan cara menggelar kegiatan Deklarasi, dengan menyatakan sikap bahwa Kesetiaan kepada NKRI, mendukung otonomi khusus jilid II dan DOB Tiga Provinsi di Tanah Papua pada tanggal 1 Juni 2022 di Wamena.
Terlihat juga pernyataan seorang Tokoh Masyarakat di Kabupaten Mimika, bahwa dasar keputusan penetapan Ibu Kota Provinsi Papua Tengah di Nabire mengancam Suku Mee di Timika sehingga untuk menghindari ancaman tersebut, Kepala Suku Mee di Timika mengimbau kepada warganya sama dengan tiga poin penting. Diantaranya Pertama, Mama-mama tidak menjual barang-barang setiap hari Minggu di pasar. Kedua, Isu-isu yang sedang beredar dari suku lain bahwa masyarakat Paniai tidak boleh menanggapi masalah Pemerintah sebab bukan masalah orang Mee/Paniai di Timika. Ketiga, Bulan ini bulan puasa Papua dan Papua Barat jadi khusus Suku Mee di Timika membatasi kegiatan besar kecil dan menciptakan konflik dan semua fokus doa puasa sampai 30 juli 2022. Ini keputusan yang disepakati oleh Kepada Suku Mee di Timika dan dihimbaukan kepada seluruh orang Mee di Timika untuk melakukan serta mentaatinya.
Melalui beberapa fakta di tas yang jelas-jelas menunjukan fakta perumusan rencana kebijakan DOB di Papua, telah memicu potensi konflik sosial di Papua. Hal itu sepertinya dilihat juga oleh pihak Kepolisian Daerah Papua, sehingga Kepolisian Daerah (Polda) Papua menghimbau siaga jelang sidang pleno penetapan daerah otonomi baru (DOB) di Provinsi Papua oleh DPR RI.
Terbukti, Kapolda Papua Irjen Mathius D Fakhiri mengaku telah meminta bantuan dari Mabes Polri untuk menerjunkan personel Brimob Nusantara ke Papua di tiga Kabupaten. “Itu kita lakukan untuk mencegah adanya penumpang gelap yang mengatasnamakan DOB untuk membuat kericuhan di Papua,” ujar Fakhiri, Rabu (22/6).
Jawabannya adalah Mabes Polri telah mengirimkan lima kompi Brimob Nusantara menjelang disahkannya Rancangan Undang-Undang Daerah Otonomi Baru (DOB) Papua. UU DOB Papua dijadwalkan disahkan pada 30 Juni mendatang.
Pengesahan DOB di Papua pada 30 Juni
Rencananya, pengesahan DOB Papua akan dilakukan pada 30 Juni 2022. Maka patut dipertanyakan dasar hukumnya, sebab UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang “Perubahan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang “Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua” yang memberikan kewenangan Atribusi (pemberian kewenangan menjalankan Pemerintahan oleh pembentuk undang-undang kepada suatu organ Pemerintahan), kepada DPR RI untuk merumuskan kebijakan DOB di Papua masih dalam tahapan Uji Materiil di Mahkamah Konstitusi (MK). Maka dikhawatirkan adalah informasi rencana pengesahan yang digembar gemborkan oleh anggota DPR RI justru akan semakin meruncingkan konflik sosial di antara Papua.
Berdasarkan fakta perumusan kebijakan DOB Papua yang telah sukses menciptakan dua kelompok yang dapat berpotensi konflik sosial semestinya ditangani menggunakan pendekatan Undang Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Ngengat pengertian Penanganan Konflik adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana dalam situasi dan peristiwa baik sebelum, pada saat, maupun sesudah terjadi Konflik yang mencakup pencegahan konflik, penghentian konflik, dan pemulihan pasca konflik sebagaimana diatur pada pasal 1 angka 2, UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.
Berkaitan dengan penanganan sebelum terjadi konflik sosial Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat diwajibkan untuk melakukan beberapa upaya seperti;
a. Memelihara kondisi damai dalam masyarakat;
b. Mengembangkan sistem penyelesaian perselisihan secara damai;
c. Meredam potensi Konflik;
d. Membangun sistem peringatan dini sebagaimana diatur pada Pasal 6, UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.
Berdasarkan pada ketentuan upaya pencegahan adalah meredam potensi konflik maka sudah sewajibnya pembahasan Rencana Kebijakan DOB Papua yang diusung secara sepihak oleh DPR RI menggunakan hak inisiatif tanpa mengambil pendapat masyarakat sesuai ketentuan “Pembentukan daerah provinsi dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut Aspirasi sebagian besar masyarakat setempat dalam bentuk Keputusan BPD untuk Desa dan Forum Komunikasi Kelurahan atau nama lain untuk Kelurahan di wilayah yang menjadi calon cakupan wilayah Provinsi atau Kabupaten/kota yang akan dimekarkan selanjutnya akan dijadikan Dokumen aspirasi Masyarakat” (Pasal 14 huruf a dan huruf d angka 1, Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan.
Dan Penggabungan Daerah) telah berujung pada terpecahnya masyarakat papua ke dalam 2 (dua) kelompok baik kelompok yang menolak DOB dan kelompok menerima DOB yang sangat rentan memicu konflik sosial harus dihentikan untuk menghindari terjadinya konflik sosial yang berkepanjangan.
Menurut solidaritas, hal itu sesuai dengan dasar menimbang terbentuknya UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial adalah “perseteruan dan/atau benturan antar kelompok masyarakat dapat menimbulkan konflik sosial yang mengakibatkan terganggunya stabilitas nasional dan terhambatnya pembangunan nasional” sehingga sudah sepantasnya Pemerintah Pusat menghentikan Pembahasan Rencana Kebijakan DOB Papua yang merupakan dasar pro kontra masyarakat papua karena dikhawatirkan akan menuai konflik sosial.
Sehingga Solidaritas Organisasi Sipil Untuk Tanah Papua menggunakan
kewenangannya yang diberikan oleh Pasal 101, Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia menegaskan kepada;
- Presiden
Republik Indonesia segera batalkan kebijakan DOB Papua yang telah menimbulkan
Pro Kontra dalam Masyarakat Papua demi meredam konflik sosial sesuai
perintah Pasal 6 huruf c, UU Nomor 7 Tahun 2012. - Ketua DPR
RI segera hentikan Tim Pansus Perumusan Kebijakan DOB Papua yang telah
menimbulkan Pro Kontra dalam Masyarakat Papua demi meredam konflik sosial
sesuai perintah Pasal 6 huruf c, UU Nomor 7 Tahun 2012. - Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia segera menegakan UU Nomor 7 Tahun
2012 dalam Pro Kontra Kebijakan DOB di Papua. - Gubernur
Provinsi Papua dan Papua Barat segera menjalankan perintah Pasal 6, UU
Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial dalam Pro Kontra
Kebijakan DOB di Papua. - Tokoh
Masyarakat Papua dilarang terlibat aktif dalam menciptakan potensi Konflik
Sosial dalam Pro Kontra Kebijakan DOB Papua.(*)
Dapatkan update berita dari Bumiofinavandu.com dengan bergabung di Grup Telegram BumiofiNavandu.com. Caranya muda, Anda harus menginstall aplikasi Telegram terlebih dulu di Android/Ponsel lalu klik https://t.me/bumiofinavandu kemudian join. Atau dapatkan juga di Facebook lalu Klik Halaman Bumiofinavandu.com