Wara-wiri

Hujan bulan Oktober

9

Riak-riak air di kali ini berkali-kali. Berlomba-lomba dengan kicauan burung-burung, di lereng perbukitan dan gunung-gemunung.

Tatapan saya membentur Poco Kuwus. Tapi terhalang kabut.

Di lereng gunung ini, sawah membentang bersama hamparan kopi, cengkeh dan aneka pepohonan.

Bukit-bukit yang hijau seakan menadah gumpalan awan pekat. 

Sedangkan langit beratap kabut putih. Kabut membentang bak gelaran tikar.

Sungguh! Jarak pandang selintas hanya puluhan meter. 

Kondisi ini terjadi saban pekan. Bahkan sedari pagi, hingga remang-remang lampu di rumah-rumah warga mulai tampak.

Itu di kaki gunung ini. Di Lembah Gelora atau Gelong Raya. Awal Desember.

Dapat dimaklumi. Memasuki akhir dan awal tahun baru, kondisi seperti itu menjadi pemandangan lumrah di desa kami.

Saya lalu membongkar memori. Mengutak-atik lembaran notes lusuh, yang selalu saya taruh bersama gawai dan rokok di noken.

Tak lupa melihat-lihat mozaik-mozaik. Catatan pada aplikasi note layar gawai. Sedari awal Oktober. Hingga hari ini.

Tak banyak yang saya dapat. Terbaca sebuah coretan kecil. Hujan di bulan Oktober: hujan berkat.

Memori gawai saya full. Dokumen di laptop tercecer. 

Data bertaburan. Mulai dari foto dan rekaman suara. Hingga video dan tukilan-tukilan sepanjang jalan kenangan.

Mengumpulkan dan menata kepingan demi kepingan bukan perkara mudah. Bukan soal menggabungkan kesemuanya jadi satu wacana.

Tapi saya mengurai satu per satu. Meracik bumbu-bumbu. 

Hingga menjadi satu narasi utuh. Penuh racikan yang mungkin “tidak enak dan memikat”.

Dan saya memulai saja catatan ini. Tapi sebentar tertahan derai gerimis yang tak henti. Yang membasahi apa saja di bawah sana. Yang menjadikan dedaunan menguar.

Tadi saya rupanya lupa meneguk kopi. Padahal sedari tadi gelas kopi diparkir di meja kerja. 

Itu sebabnya gigi saya ngilu. Heossss. Lantaran kukecap bak es batu.

Jemari saya tak henti menulis. Berpacu dengan gerimis. 

Saya menulis apa saja. Harapan, kenyataan dan angan.

Dan terutama catatan bulan Oktober tadi. Yang terhenti sejenak. Tentang bulan Rosario dalam tradisi Kristiani. Atau bulan bahasa di Nusantara.

Sebentar lagi Oktober berlalu. Catatan ini harus selesai di sini.

Saya merenung kembali. Refleksi. Sekadar menemukan benang merah catatan kecil ini. Seri tulisan tahbisan di kampung kami.

Dan… Alleluya!!! Sudah ditemukan catatannya.

Udara saat ini menusuk tulang. Rabu malam pada 30 Oktober 2024, memang membikin badan membeku.

Tapi warga Gendang Lentang berdatangan di rumah gendang. Mereka duduk melingkar.

Mereka berkain songke atau towe Todo. Membungkus kepala dan raga. 

Sesekali mengisap rokok dan meneguk kopi panas. Sekadar mengusir kantuk dan dinginnya malam.

Kali ini mereka hendak mendengar laporan panitia tahbisan. Atau sepatah dua kata petuah. 

Baik dari keluarga dan tetua adat, maupun panitia, perwakilan Dewan Pimpinan Paroki Rejeng-Ketang dan perwakilan pemerintah desa.

Benediktus Tarung mengambil jeriken ukuran 20 liter. Jeriken itu berisi tuak rupanya. 

Tuak itu hanya sebuah simbol. Pa’u tuak tuk mengucapkan terima kasih dan maaf.

Bahwa acara bulan ini: mulai dari penjemputan imam baru, misa sulung, hingga landang ke Kolang, berjalan tanpa hambatan. 

Api terus menyala, Kaka. Tapi bukan sopi bakar-menyala. 

Semangat pun terus berkobar. Meski rintik hujan mengguyur semesta, kita tetap “nai ca anggit tuka ca leleng”.

“Tidak ada kata yang paling baik selain terima kasih,” kata Benediktus, disambut tepuk tangan meriah.

Benediktus Tarung adalah perwakilan keluarga imam baru. Ia juga tinggal di gendang, sebagai perwakilan gendang atau kampung.

Perwakilan tetua adat dari alo ame atau delapan panga, juga meraih mikrofon. Dia menjawab “tuak” itu.

Kapu toe pa’u laku reweng dite, pola toe gomal,” kata Donatus Patut, Tua Gendang atau tetua adat Kampung Lentang.

“Acara dite ho’o toe ma pate ata laged. Semoga persatuan dite ho’o toe ma mora koled. Neka koas neho kota, neka behas neho keta. Harus loko ngger olo,” kata Ketua Dewan Pimpinan Paroki Rejeng-Ketang, Maksimus Sehadun.

Maksimus menekankan persatuan warga kampung. Pokoknya “bersatu kita teguh bercerai kita runtuh”.

Atau dalam go’et-go’et warisan orang-orang tua Manggarai dulu, yang bermakna persatuan dan kesatuan. 

“Kope oles todo kongkol. Bantang cama reje lele. Padir wai rentu sai. Muku ca pu’u neka woleng curup, teu ca ambong neka woleng jaong.”

Bahwa maju tidaknya sebuah kampung, terutama Kampung Lentang ini, butuh persatuan dan kesatuan. 

Bukan hanya saat merayakan syukuran tahbisan imam baru, melainkan juga dalam banyak hal.

Porong rao neho ajo, sawi neho wua,” kata Maksimus.

Ketua Panitia Tahbisan Imam Baru Benediktus Patut, juga menyampaikan hal yang sama. 

Sebab rangkaian acara tahbisan telah selesai dan lancar. Meminjam istilah aparat militer (TNI/Polri): aman terkendali.

Eme manga ata salang be pe’angd, oke one waes laud one lesos saled,” kata Benediktus Patut.

Benediktus juga patut berterima kasih pada Morin Agu Ngaran, karena rangkaian acara memang usai tanpa halangan. Kecuali hujan.

Satu per satu warga lalu mempersiapkan diri. Ada yang duduk, membubuhkan tanda salib di dahi. Hingga menundukkan kepala. 

Sedangkan yang lainnya ke toilet. Ada yang merelaksasi otot. 

Betapa tidak, pantat kram, lantaran sejak satu jam yang lalu, melantai dan bersila.

Di tengah keheningan dan kekhusyukan suasana itu, seorang pria muda berjubah putih, dengan topi khas Manggarai, muncul di tengah kegelapan malam. Dia masuk melalui pintu depan.

Jalannya menunduk di tengah-tengah lingkaran warga yang duduk bersila. Tak lama lalu duduk. 

Dia juga mengucapkan sepatah, dua patah kata.

Lalu mengambil stola dan kasula. Membolak-balik Kitab Suci dan buku perlengkapan misa.

Pria muda berjubah putih itu adalah Reverendus Pater Yohanes de Brito Nanto, SVD. Pria yang disapa Pater Rio ini, akan mempersembahkan misa atau ekaristi.

Misa kali ini, merupakan penutupan. Dari syukuran tahbisan, hingga bulan Rosario. 

Tak terasa misa sudah usai. Pesan-pesan tentang kehidupan keluarga, dalam khotbah anak pater yang renyah, membikin tertawa. Dan waktu tak terasa sudah berlalu. 

Kegelapan menyelimuti kampung. Sbab PLN memutuskan aliran listrik malam ini. 

Satu per satu warga kampung pun meninggalkan rumah gendang. Yang lainnya bertahan dalam terang genset. Bersambung. [*]

error: Content is protected !!
Exit mobile version