Wara-wiri

Menulis untuk dibaca anak cucu

13
Ilustrasi Menulis di Pixabay.com

Beberapa hari terakhir saya getol menonton webinar tentang menulis di youtube. Banyak masukan atau motivasi di sana. Seputar dunia baca, tulis dan praktik. Masukannya kurang lebih sama, tetapi disampaikan dalam bentuk yang berbeda tiap pembicara.

Namun, ada yang menohok pikiran saya, ketika narasumber berkata, menulislah untuk keabadian. Jika saya tidak menulis, maka saya tidak akan diketahui dunia.

Apalagi dikenang.  Jangankan dunia, anak cucu saja tidak. Palingan hanya satu sampai dua generasi. Setelah itu, selesai. 

Beda kalau menulis, meski mereka tidak mengetahui kita, minimal dapat membaca karya kita. Oleh sebab itu, menulis adalah salah satu pilihan untuk hidup abadi.

Di dalam tulisan, anak-anak cucu mengenal kita, baik ide-ide atau pemikiran, mimpi dan karakter, maupun kenyataan atau konteks dan banyak hal lainnya. Saya tercenung juga. Kadang-kadang malas tahu. 

Buat apa repot-repot menulis, toh kita akan mati? Toh kita tidak tahu apa yang terjadi di belakang kita. Biarkan mereka dengan dunianya, dan kita dengan dunia gaib kita.

Pikiran ini saya buang jauh-jauh. Saya tergugah untuk terus berpacu di jalan literasi, meski belum ada karya sendiri (buku). 

Memang ada tapi karya bersama, seperti, laporan jurnalistik investigasi pendidikan dan kesehatan yangditerbitkan Aliansi Jurnalis Independen atau AJI Jayapura (2012) dan laporan jurnalistik perubahan iklim Lembaga Pers Doktor Soetomo Jakarta (2014), beserta cerpen, yang dengan baik hati Kaka Dayu dari Papua Barat memasukkannya dalam karya Kaka Gody Usnaat dan anak-anak Papua lainnya, Syair Semografi (2018), dan Sang Penabur Heroik P. Thomas Krump SVD (2020)–sebuah biografi dan persembahan anak-anak Paroki Rejeng-Ketang untuk sang misionaris asal Hungaria yang menikmati masa senjanya di pastoran, serta beberapa puisi dan cerpen lainnya yang nyaris tak terbaca dilaptop.

Akhir 2020 saya pulang libur. Di sela-sela keheningan dan udara kampung halaman yang menusuk ubun-ubun dan kabut setiap pagi dan sore, saya melacak diari yang tersimpan di pantat peti kayu. Puji Tuhan masih tersimpan rapi meski sebagiannya dimakan ngengat, dan sebagiannya nyaris tak terbaca karena lembab. Banyak puisi dan cerita di dalamnya.

Dengan tenang dan sabar saya pun mengetiknya. Karena puisinya lebih banyak, saya harus membutuhkan waktu beberapa bulan lamanya, untuk menyortir, mengedit, dan menafsir kembali maksud dan konteksnya kala itu dan masa kini.

Puisi-puisinya juga tidak terlalu bagus, tapi semuanya mengalir begitu saja saat saya menulis. Ada yang lucu, serius, dan santai.

Saya pun kaget setengah mati ketika semuanya terampung dan dalam ketidak-PD-an, saya mengirim puisi-puisi itu ke salah satu penerbit di Yogyakarta, berkat bantuan seorang kakak, Br. Ibo. Semoga bisa melewati kerikil-kerikil dan jalan itu terbuka lebar.

Blogger adalah pilihan

Ihwal menulis, baik menulis kreatif, maupun laporan jurnalistik, saya kira menulis di blog juga menjadi ruang alternatif untuk belajar. 

Namun saya mesti membuat blog dengan nama yang unik dan ramah otak. Kalau pun kelak tak menjadi buku, toh masih tersedia di internet dan biarkan menjadi “sampah google”. 

Ada sebuah adagium nomen est omen atau nama adalah tanda dan kenalilah dirimu atau nosce te ipsum. Nama itu memang penting. Dia adalah simbol keakuan, identitas.

Tiap benda, binatang, tumbuhan, tempat, kepemilikan dan manusia punya nama kan? Itulah pergulatan ihwal menamai sebuah brand. Tak terkecuali blog yang sedang Anda baca.

Awalnya saya bingung menamainya. Terutama dan pertama-tama, karena “barang ini” dirindukan untuk menjadi ruang produk kata-kata, ide, kalimat, dan kumpulan paragraf. Maka nama dianggap penting kalau tidak bisa disebut punya “nama dan tanda“.

Saya mengenal blog, sekitar tahun 2010. Ketika itu kami belum mengetahui, bahwa tiga tahun sebelumnya, tepatnya 27 Oktober 2007, Menteri Komunikasi dan Informatika Muhammad Nuh (kini Ketua Dewan Pers) mencanangkan Hari Blogger Nasional.

Praktis saya dan kawan-kawan kala itu membuat blog sekadar belajar, sehingga berlomba-lomba menulis dan mendesainnya, agar lebih elegan dan ramah mata, berkat fasilitas gratis blogspot dan wordpress. 

Berharap bahwa blog sebagai ruang belajar—menulis dan utak-atik, dan apa yang ditulis dapat dibaca dan bermanfaat.  

Tidak ada intensi khusus atau embel-embel uang. Blog semata sebagai ruang belajar. Maka mutlak memilih nama unik, khusus, dan mengandung muatan cita-cinta. 

Singkat cerita, dari domain gratis ke domain gratis, lompat-lompat dan tidak konsisten, tahun pun berganti. Timbul keinginan untuk membeli domain dan hosting. Tralaaaa, maka jadilah terang dan malam. 

Di bawah terang akal budi dan kata-kata, blog pun menjadi semacam  “kumpulan lagu batin”. Mungkin terlalu keren untuk disebut kumpulan puisi. 

Kemudian timbul ide mengembangkannya jika napas terus berembus dan jantung masih memompa darah, dengan menampung prosa (cerita) dan ulasan atau sudut pandang.

Menyampaikan buah pikiran, perasaan, kritikan/masukan, dan fakta/data, ibarat menyanyikan sebuah lagu. Jika terjadi kesulitan menulis, saya menganggap bahwa saya sedang menyanyi; menulis adalah menyanyi. Menyanyi adalah bagian dari seni.

Berhenti di situ? Saya tidak berhenti berharap, seperti juga idiom “dum spiro spero” (selama saya bernapas saya berharap). 

Soal nama, pernah terlintas dalam kepala tentang nama Bengkel Kata plus semboyan: sarana mereparasi ide, karena ide kami tak pernah mati. 

Kemudian jatuh pada kata Lomes, yang kelak usianya hanya dua tahun, meski saya punya mimpi menulis adalah keindahan—seperti juga metamorfosis dari bengkel kata menjadi lomes—dan kini hadir dengan bentuk baru. 

Saya yakin, tiap pribadi yang mau menulis punya intensi. Semacam motivasi. Ada yang sekadar ikut ramai, barangkali!

Ada juga yang sekadar menulis pengalaman harian atau jurnal pribadi, meng-update informasi dan menganalisisnya, bahkan semacam terapi psikologis. 

Bagi saya, sebagaimana layaknya fungsi media massa, blogging juga aktivitas memberikan informasi. Jurnalisme warga tepatnya. Tergantung dari angle mana dan bagaimana mengolahnya menjadi renyah dan enak dibaca. 

Apa yang ditulis akan abadi—seperti pada adagium klasik “verba volant scripta manent“. 

Menjadi blogger juga berarti menulis dengan merefleksikan realitas. Jadi, saya melihat, merasakan dan mendengar, maka saya menulis. Tentu yang dianggap layak dan lolos dari “sensor” nurani, serta mematuhi kode etik dan undang-undang yang berlaku—kata kerennya beras ditampi sebelum dimasak

Dengan melatih diri menulis, saya belajar untuk peka terhadap realitas dan suara hati. Saya menulis maka saya belajar. Belajar berpikir analitik, skeptis, solutif dan mendengar suara hati. 

Dengan begitu, sedianya tulisan saya dapat menggugah sidang pembaca. 

Ada semacam tren, bahwa menulis juga bagian dari cara melawan lupa. Kalau saya tidak menulis berarti ide liar yang terlintas di benak hilang tanpa jejak. Saya menulis dan saya mencipta. Di sini saya dirangsang untuk berpikir kritis dan kreatif.  

Mengapa saya menulis?

Berbicara tentang menulis, agaknya saya ragu bahwa pendapat saya bisa diterima sidang pembaca. Ini beralasan mengingat saya harus mengakui subjektivitas tiap individu. 

Memangnya menulis itu barang apa ka? Bila Anda menulis karya jurnalistik atau karya fiksi, maka berbahagialah Anda, karena dengan demikian, Anda sudah mengabadikan kenyataan, refleksi, dan harapan. 

Besok atau lusa, ide-ide dan pengalaman tertulis bisa menjadi inspirasi dan motivasi bagi pembaca. 

Itulah alasan mengapa saya harus menulis—apa yang dilihat, dirasakan, diketahui, dan harapan bagi dunia yang lebih baik.

Pada galibnya tiap orang menulis karena mengetahui/memahami, peka dan mempunyai “tugas moral” untuk mengedukasi sesamanya, memberi informasi dan memotivasinya. 

Pertama-tama dan terutama mereka tidak pelit membagi pengalaman dan ilmunya. Saya harus mengagumi dan menghormatinya. Itu patut diapresiasi.

Saya mempunyai pengalaman rumit dalam menulis. Susahnya minta ampun. Oleh karena itu, saya mau tulis di sini. Sio mama

Setelah saya pikir-pikir, tulisan Mary Leonhardt pas untuk dibagikan. Leonhardt adalah seorang guru SMA di Amerika Serikat. Dalam bukunya yang diterjemahkan Eva Y. Nukman berjudul 99 Cara Menjadikan Anak Anda Bergairah Menulis (Bandung: Kaifa: 2004, 19-27) ia mengemukakan sepuluh alasan bahwa (aktivitas) menulis itu penting.

Pertama, rasa suka terhadap suatu kegiatan merupakan pra syarat untuk keberhasilan di bidang apa pun. Demikian halnya dengan menulis;

Kedua, hanya anak-anak yang suka menulis saja yang akan menulis dengan sering dan teliti–hal yang mereka butuhkan untuk menjadi penulis ulung;

Ketiga, hanya siswa yang gemar menulis dan banyak menulis secara mandiri, yang akan mengembangkan irama dan gaya pribadi mereka;

Keempat, hanya anak yang terbiasa menulis mandiri sajalah yang akan belajar dan menulis dengan fokus yang tajam dan jelas;

Kelima, anak-anak harus sering dan bebas menulis (dan membaca) supaya spigel (sangat terampil) dalam menggunakan struktur kalimat yang kompleks dan benar secara tata bahasa;

Keenam, anak-anak yang menikmati tulis-menulis jarang menunda menyerahkan makalah dan laporan sekolah yang ditugaskan;

Ketujuh, anak-anak yang suka menulis dan sering menulis untuk iseng, juga lebih memahami hal-hal yang dibacanya;

Kedelapan, anak-anak yang gemar menulis menjadi murid yang mudah dan unggul dalam hampir semua mata pelajaran;

Kesembilan, anak-anak dengan kebiasaan menulis pribadi yang mandiri mempunyai cara yang mudah untuk mengatasi trauma emosional;

Kesepuluh, penulis yang prigel dan fasih mempunyai keuntungan luar biasa dalam sebagian besar bidang pekerjaan.

Ia menyebutkan, penulis ulung sejati adalah penulis berkepribadian. Bila menilik esai mahasiswa menurut Leonhardt, esai perguruan tinggi adalah esai yang segar dan jujur, tetapi juga harus memberikan sedikit wawasan tentang diri kita kepada mereka.

Mungkin kawan-kawan bertanya: ah, itu kan menurut dia. Ya, iyalah, kan saya sudah tulis di awal. Bahwasannya setiap individu mempunyai argumen masing-masing perihal aktivitas yang satu ini. 

Argumentasi dengan alasan dan referensi yang sahih membuat siapa pun terangguk-angguk. Tidak bisa tidak itu. Saya pun punya cara tersendiri. Menulis di sini.

Bila rujukan satu-satunya buku—artinya harus menulis buku dulu—baru bisa membagikan pengalamannya tentang menulis, saya pikir itu terlalu naïf. Lantas untuk apa adanya motivator dan inspirator? 

Di era digital seperti sekarang ini, menjadi blogger merupakan sebuah alternatif untuk menulis. Dengan menulis di blog, apalagi dengan kemudahannya mendaftar pada blog gratis, dan tulisannya “berkelas”, saya yakin ko selalu dikenang—jika jaringan internet tra putus. Puji Tuhan jika bisa dibukukan.

Saya jadi teringat sebuah tukilan sastrawan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer (1925-2006), “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”

Terus menulis itu epen kah? Jupen tooo! Lalu dimulai darimana? Sekarang atau tidak sama sekali. Potius sero quam numquam (lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali).

Perlu direnungkan juga bahwa salah satu alasan kenapa tulisan-tulisan legenda dan penulis kawakan selalu bernas adalah kegemaran mereka melahap buku. 

Menciptakan tulisan-tulisan “bergizi” bukan hal sepele. Itu didapat setelah melalui perjuangan ekstra keras. Perjuangan yang terus-menerus. Kemampuan yang diasah terus-menerus. 

Tak semudah kedipan mata

Ketika belajar menganyam kata-kata, susahnya minta ampun. Bercerita melalui tulisan memang gampang-gampang susah, atau susah-susah gampang. Tak semudah kedipan mata ketika melirik ade nona.

Semasa berseragam putih kuning dan abu-abu, kami belajar menulis opini, cerita pendek, puisi, bahkan menulis catatan harian adalah aktivitas yang tidak asing lagi. 

Waktu berjalan terus. Zaman pun berganti. Kami bertumbuh dan berkembang dalam zaman. Menulis terus. 

Jika aktivitas menulis kami diibaratkan dengan makhluk hidup, entah sebesar atau sematang apa. Namun fakta berkata demikian.

Proses belajar adalah hal yang kami lalui. Saya tak bisa mengelak dari kata-kata, frasa, klausa, kalimat dan paragraf. 

 Hampir sepuluh tahun saya menjadi jurnalis sejak merangkak belajar dari Jubi tahun 2010. Usia yang sangat muda untuk sebuah profesi yang membutuhkan keberanian, kecekatan, kemahatahuan, ketekunan, dan lain-lain. 

Pekerjaan menulis memang sangat susah. Setidaknya membutuhkan latihan yang terus-menerus. 

Dalam laman facebook Tempo Media disebutkan bahwa menulis bagus biasanya dimulai dengan membaca bagus. 

Namun, tak semua yang membaca bagus bisa menulis bagus. Seorang penulis baik biasanya seorang pembaca yang tekun dan kritis.

Pada suatu kesempatan di awal-awal menjadi jurnalis, tahun 2012, saya dan beberapa kawan jurnalis Papua, mengikuti kelas menulis kolom di kantor redaksi Suara Perempuan Papua (SPP). 

Tiga hari kami bersama mentor Andreas Harsono, penulis buku ‘A9ama Saya Adalah Jurnalisme’ dari Yayasan Pantau. 

Banyak hal diberikan wartawan lulusan beasiswa jurnalistik Amerika itu. Pada hari terakhir beliau berpesan, menulis mengandaikan kita tahu dan berani. That’s is the key, man

Soal menulis bagus, sepanjang saya hidup, terutama saat menjadi jurnalis sejak sepuluh tahun lalu dan menulis untuk laman pribadi, saya mengalami titik yang bernama jenuh. 

Dalam sebuah kesempatan, di sela-sela aktivitas jurnalis, saya belajar menulis kolom, esai, opini, cerita pendek, ‘novel’, puisi atau bahkan memoar. Namun susahnya minta ampun. Sungguh mati. 

Padahal saya berpikir bahwa menulis hal-hal seperti itu, bila didukung fakta yang mendukung, referensi terpercaya, kepercayaan diri yang teguh dan kepekaan mendengar suara hati, saya bisa melakukannya. 

Saya bermimpi bahwa suatu saat saya menjadi jurnalis cum penulis. Namun, dalam perjalanan waktu, diiringi kematangan usia, saya pun mengalami apa yang dinamakan kebuntuan dalam menulis—seperti disebut tadi.

Memang “ini barang” butuh latihan. Menulis terus-menerus sambil belajar dan rendah hati adalah kata yang sering saya dengar dalam percakapan sehari-hari. Ketika itu dipraktikkan, betapa sulitnya.

Menulis itu juga seperti saya mengasah parang sewaktu kecil sebelum ke kebun dan mencari kayu api di hutan rimba. Juga bak mendaki gunung, melewati tebing terjal, melalui duri-duri tajam dan berjalan bermil-mil jauhnya.

Namun demikian, apa yang saya tulis adalah representasi diri saya. Kelak anak-anak cucu saya mengenal saya; ide-ide atau pemikiran, mimpi dan karakter, maupun kenyataan atau konteks, melalui tulisan saya. 

Menyitir Prof. Richardus Eko Indrajit, Pembina KOGTIK PGRI dalam webinar “Dari Tulisan Blog Jadi Buku Bermutu”, “You are what you write (Anda adalah apa yang Anda tulis).”[*]

 #82021


Dapatkan update berita
Kalawaibumiofi.com dengan bergabung di Telegram. Caranya muda, Anda harus menginstall aplikasi Telegram terlebih dulu di Android/Ponsel lalu klik https://t.me/wartabumiofinabirepapuatengah lalu join. Atau dapatkan juga di medsos (Facebook, Twitter, Instagram, Youtube, Tiktok) dengan nama akun Warta Bumiofi.

error: Content is protected !!
Exit mobile version